Fase Itu Kau Sebut Fase Kepompong


Semilir angin menguning menyingkap ujung jilbab putihmu. Menerbangi butiran pasir terhampar luas bak gurun di flm2 berseting Mesir. Tampak mendung di langit sisi yang jauh. Sebentar lagi mendekati posisi kami berdua tampaknya. Sore itu aku berdua dengannya. Menghabiskan sisa-sisa hidup di Smanda, perguruan kami dahulu. Seingatku sore itu kita telah purnakan kerjaan menghitung hasil roti-roti, produk andalan Ronda kemudian menyibukkan diri bersama alat yang kukenal dg: Handycam.

Aku duduk di selasar pinggiran lapangan bergurun yang dipenuhi bougenvil dan sedikit rumput. Rumput tersebut rutin dicabuti teman-teman yang kerap kali terlambat masuk sekolah. Bahkan aku pernah menjadi langganan yang terjebak tingginya pagar besi yang tak kunjung tersingkap. Baru setelah memenuhi syarat awal: mungutin sampai di luar pagar sekolah, gerbang akan terbuka sedikit kira2 selebar tubuhku. Memasukkannya ke dalam kotak kotor itu. Tak selesai sampai disitu. Pak Hendra akan menyuruh kami-para Telater untuk merumputi pekarangan sekolah ataw taman kecil yang mengelilingi lapangan bergurun. Kalau sudah begitu, tujuan pertamaku setelah semua itu kelar ialah ke kamar mandi. Kotor...!
Ada terobosan baru yang kemudian rutin usai bel masuk berbunyi, Pak Hendra dengan camdic nya siap memotret teman-teman yang telat (saat ritual pemotretan itu aku sedang mujur: tak terlambat). Kemudian foto2 mereka akan terpampang tiap harinya selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan hingga warna kertas memudar di papan pengumuman dekat kantor guru. Namun, itu semua membuat teman-teman tak jera, bahkan sengaja terlambat sekadar numpang eksis di kamera. Akhirnya trobosan ini pun putus juga. Selain siswa tak jera akibat rasa malu terlambat, dana pencetakkan fotopun perlu disediakan. Jadilah Progal:Program gagal.

Ku perhatikan bougenvil oranye itu. manis, ditemani yang berwarna ungu di sampingnya. Di sekitar kami berjejer rapi dengan jarak yang teratur, sekitar 2-3 meter tumbuh pohon ketapang yang masih muda. Tingginya kira2 tinggiku ditambah setengah dari tinggiku lagi. Temanku itu, yang berjilbab sama warna denganku menyelinap diantara cabang ketapang yang sekiranya tak banyak. Kusebut namanya. Memulai percakapan yang sedari tadi sudah kami dahului dengan menyibukkan merekam handycam impian dan harapan kami ketika telah dewasa nanti.

"Hei, kawan apa jadinya kalau kita tak 1 sekolah lagi?" lemparku pada teman yang kuanggap unik ini.
"Yah ga kenapa-napa."
Wah ga keren banget nih jawabannya. belum 1 suhu nih.^^
"Perpisahan itu payah yah kalau dirasa-rasa?" Mengingat dekatnya momok itu: Ujian Nasional. Akan usai pula kisahku di SMA.

Menangkap arah pembicaraanku. Kata perpisahan yang kumaksud tentu saja perpisahan dengannya. Ia kukenal secara dekat sekitar hampir 2 tahun. Kami bukan 2 anak muda yang selalu bersama tiap waktu. 1 bangku pun belum pernah. Jangankan 1 bangku, 1 kelas aja kagak ada cerita. Tentu saja kelas dalam pembelajaran sehari-hari. Ku mengenalnya dari dulu hingga sekarang sebagai anak yang cerdas. Kuakui itu. Nalarnya pernah mematahkan keyakinanku terhadap suatu hal yang cukup esensial. Matanya yang empat itu menunjukkan keoptimisan. Langkah kakinya yang cepat mencerminkan kecepatannya mengambil langkah maju: sebuah keputusan. Ku anggap Ia seorang yang tegas. Terkadang juga menampilkan kekonyolannya di depan ku dan akhwat lainnya, sehingga membuatku tertawa. Ia adalah orang yang coba menerapkan pola sehat ala Rasulullah. Dan aku pun kecipratan. Kami suka bermain bulutangkis pagi2 di lapangan basket Smanda. Namun, harinya tak tentu. Kalau lagi ingin saja.

Aku banyak belajar menyukai buku darinya. Terbukti aku mencoba membeli buku2 yang ia rekomendasikan. Asyiknya, buku-buku bacaanya sangat kusukai. Tentang ilmu-ilmu otak! Waaww..Darinya ku tahu siapa itu Tony Buzan. Mindmap dkk. dan masih banyak lg. Ough.. Hanya rasa syukur pada Yang Maha Kuasa yang telah membukakan pengetahuan untukku melalui temanku ini. Yak! Temanku yang ilmuwan!

Ia kemudian berkata
"Hei, Kawan, benar yang dikatakan SINDENTOSKA tentang filosofi kepompong itu!"
"????" Ku gerakkan kedua alisku ke atas sembari mengangkat bahu. Ekspresi penasaran yang biasa kutunjukkan.
"Persahabatan itu....". Wah ia langsung menyitir kata Persahabatan!
" Persahabatan itu bak fase hidup kupu-kupu." Terngiang di kepalaku lagunya SINDENTOSKA. Ia melanjutkan kata-katanya
"Dari telur, ulat, kepompong hingga keluarlah kupu-kupu rupawan. Fase-fase itu mengibaratkan perjumpaan dan perpisahan."

Aku memperhatikannya dengan saksama seraya berkata 'Oh ya?' tetapi dalam benakku saja.^^. Ia mengatur nafas dan kupikir sedang memilah kata yang tepat untuk menyampaikan pesan yang diharapkan dapat membekas dalam hati pendengarnya. Setidaknya dalam ingatan. Kemudian Ia melanjutkan

"Dari awal berjumpa, di kehidupan yang baru akan ada teman-teman baru, pengalaman baru, pengetahuan dan kecerdasan yang kian meningkat, kedewasaan yang matang dan sebagainya. Akan ada rasa, asa, dan perasaan yang terpancar dari hati nurani yang terus terasah kemunculannya. Menjadikan pribadi yang berusaha mensinergiskan antara IQ, EQ ,dan SQ nya!
Seiring berjalannya waktu kau akan menemukan, mengenal, memahami, menyayangi, melindungi hingga mendahulukan kepentingan sahabatnya ketimbang kepentingan pribadinya. Masih ingatkan tahapan2 ukhuwah?"

Menoleh ke arahku yang sedari tadi bercerita menghadapkan mukanya ke sisi timur sedang aku di sisi utara. Bercerita bak menerawang masa lalu atau mungkin masa depan. Entahlah..
Perkiraanku tepat sekali, mendung di langit sisi yang jauh itu sekarang tepat di atas kepala 2 orang yang tengah berfilosofi. Hanya kami berdua yang ada di pinggiran gurun berpasir itu. Tentu saja, Jam pulang sekolah telah lewat 3 jam yang lalu.
Tetesan hujan kemudian menghujam lembut ke bawah bumi Smanda.
Aku sepakat disertai anggukkan kepala tanda kemantapanku atas pertanyaan temanku tadi.

Ia berfilosofi lagi dan tak menggubris rintikan yang tetap turun dengan lembut.
"Semua itu akan kau alami di fase-fase telur hingga kepompong. Setelah kau merasakan indahnya kehidupan dan berapa kali mencicipi pahit kehidupan bersama sahabat akan ada masa dimana semua itu harus terputus."
'Terputus?' kata itu begitu mencabik hatiku.
"Terputus karena perpisahan yang mengharuskan. Perpisahan itu bisa disebabkan karena maut, jarak yang jauh hingga silahtirahim yang benar2 di putuskan. Itu sudah Sunatullah. Tak usah bersedih. Bahasa arabnya la tahzan, neng." sambil tersenyum, yang kutahu itu usaha membuat suasana menjadi segar kembali.

"Lalu bila benar kita terpisahkan dengan alasan jarak yang jauh. Apakah kita masih bisa seperti ini lagi? Buat film bareng, diskusi buku bareng, maen bareng?" tanyaku pelan
"Tentu saja tidak bisa."
Aku terhenyak. Waduh ni orang membunuh harapanku.ckckckck. Kemudian prasangka itu hilang dan kembali kutersenyum

"Tidak bisa seleluasa seperti sekarang ini. Kalau sekarang kan bisa face to face. kalau kangen juga bisa maen ke rumah. Kan masih satu daerah. Memang kalau terpisah dengan jarak yang jauh ini agak sulit si tapi kan ada telepon, prangkat internet dkk yang akan menghubungkan persaudaraan kita."
aku hanya berekspresi =.=a kemudian ^^
Terpikir oleh ku dan kusampaikan padanya" kalau udah sukses atau menikah jangan lupa undangannya."
Ia hanya nyengir kayak kuda. Nyinyir.

"Tapi kalau berpisah karena alasan maut, ya mau gimana lagi. Paling kamu atau aku yang wajib melakukan yang semestinya."Katanya
Merinding juga aku denger kata maut.
"Kalau alasannya yang ketiga: karena egoisme masing-masing maka perpisahan itu benar2 tak berkesan dengan baik. jangan sampai seperti itu, kawan!" Seperti biasa menepuk-nepuk pundakku. Waduh aku makin bangga punya sahabat kayak gini suka nepuk2 pundak kayak nenekku dan itu pertanda nenek mau kasih uang jajan. ^^ tampaknya tak berlaku pada kawanku ini.

"Dan setelah perpisahan itu, kita masing2 akan tumbuh menjadi kupu-kupu yang rupawan, elok asalkan tetap memperjuangkan kebaikan. Pasti akan banyak sahabat yang akan setia menemanimu, kawan" Ia kembali meyakinkanku!
"Ingatlah, bukankah setelah kehilangan maka akan digantikan oleh Allah dengan yang lebih baik, kalau selau bersyukur pada riski_Nya."

"Baiklah"
Kata pamungkasku yang mengakhiri perbincangan ringan tetapi berkesan bagiku.
Rintik yang lembut itu mulai meningkatkan kecepatan per sekian detiknya. Segera ku sambar handycam yang sedari tadi dibawah pengawasan kawanku. Di belakng pohon itu. Yak! Di pohon ketapang muda, aku menyuruhnya menyampaikan kesan-kesannya tentang Smanda dan Aku. Tentu saja pesan untuk ku juga. Aku merekamnya dalam alat buatan manusia itu. Terpatri juga dalam hati dan pikiranku tentang semua kejadian hari ini dan berharap tak kan melupakannya hingga pikun menyerang. Selanjutnya giliranku yang menghadap kamera. Gagap juga aku. grogi karena pesan ini akan senantiasa terekam dan menjadi salah satu obat rindu kelak. begitulah.

Handycam itu kemudian ku ambil dari tangan kawanku dan merekam bougenvil oranye dan ungu yang masih setia menemani kami bersama sore ini. Kuhabiskan hingga sisa kaset rekaman diperkirakan telah limit. Merekam kecantikkan bougenvil yang berbeda warna dan tetap harmonis. Rintik hujan kian tajam. Kami beranjak pergi dan berlari menuju Masjid Sekolah. Kubayangkan ketika itu kami bersama2 berlari menyongsong masa depan yang cemerlang...


Karangan atau Cerpen, buah karya 3lisiana
Pogung Rejo, 14 Januari 2010. Pkl. 07.10 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea

Kisah di Balik Pintu (1)