Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2012

Ketika orang lain bangkit, aku terbelenggu?

Gambar
Palang rel kereta api menyetopku untuk berapa lamanya, meski aku tahu kereta telah lama berlalu. Aku tak kunjung melaju. Tetap terpaku di atas jok motor dengan muka tertunduk. Aku bingung, bagaimana bisa melaju? Sebab, pandanganku sungguh mengherankan. Setiap kudongakkan kepala, palang tersebut tetap melintang sepanjang aku hendak bergaerak maju, di sisi kanan maupun kiri. Sementara pengendara di samping maupun belakang, terus maju dan mampu menerobos plang yang tiba-tiba menjadi sekadar hologram. Mengapa aku tak kuasa macam mereka? Sudah berjam-jam aku stagnan diselimuti terik matahari. Anehnya, aku tak berkeringat sedikitpun. Dan entah berapa banyak pengendara yang telah mendahului. Mereka tak pula menjawab teriakan minta tolongku. Padahal aku tampak kesusahan di pinggir jalan. Seolah ada dinding pembatas yang tak kuasa kutembus. Namun, aku bukan laksana hologram bagi mereka. Aku nyata kok. Hei, jangan cuekin aku!!! Aku putus asa dan tiba-tiba menangis meraung-raung. Menyesal

Renovasi Moral Menuju Investasi Bumi

Gambar
Manusia dengan akal pikirannya ternyata mampu mengguncang stabilitas kehidupan mereka sendiri. Melalui inovasi dan teknologi yang diciptakan, manusia menjelma ke dalam sosok yang tamak. Tentu denotasi negatif ini, hanya berlaku pada sebagian besar manusia. Hanya saja yang sebagian besar itu telah menutupi sisi positif manusia yang lain. Mengapa demikian? Pada mulanya, manusia menciptakan macam-macam inovasi dan teknologi untuk mempermudah pekerjaan. Namun, seiring meningkatnya rasa tidak puas manusia, inovasi-inovasi yang lahir berkembang pesat atas dasar ketamakkan. Manusia menginginkan sesuatu yang lebih banyak dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, manusia terus berlomba menemukan cara terbaik untuk kemajuan segala bidang kehidupannya. Alih-alih menemukan cara terbaik di satu bidang, manusia malah membuat dampak buruk di bidang yang lain. AC ( Air Conditioner ) misalnya, diciptakan bermula atas desakan hawa panas yang membuat manusia tidak nyaman berada dalam ruangan. Namun

Menghagai Kelahiran? #1

Gambar
Aku bertekad, setelah apa yang kupelajari dari seorang teman, bahwa aku harus menghargai hari kelahiranku! Besar kecil penghargaan itu, tergantung dari situasi dan kondisi yang sedang kujalani saat ini. Menurutku penghargaan terbesar untuk merayakannya adalah dengan menghasilkan sesuatu dengan usaha maksimal untuk kemudian kuhadiahkan pada diri sendiri. Lantas, dalam pencarian hingga pagi ini, aku belum pula menemukan yang layak kujadikan persembahan. Susah sekali memilih cara-cara menghargai diri sendiri… Sembari menunggu ekstrak kulit kerang kering di wajah, aku mulai membuat daftar cara-cara menghargai diri. Dipikir-pikir aneh juga yah, memberikan kado berupa penghargaan untuk diri sendiri. Kebanyakan orang kan diberi kado dari orang lain di hari ulang kelahirannya. Aku jadi menemukan suatu praduga, jangan-jangan aku termasuk orang yang tidak banyak sahabatnya yang peduli pada hari lahirnya. Bagaimana mungkin peduli sih, aku juga tak peduli pada hari kelahiran mereka. Boro-bo

Jadi Ingat Nasgor dan Ayah

Gambar
Pagi ini aku lihat Ita sibuk mengoseng-oseng nasi yang baru saja ia keluarkan dari rice cooker. Kulihat ia membuka bumbu nasi goreng instan. Masih dengan pakaian tidurnya ia berusaha fokus menyelesaikannya demi sang ayah. Sebelumnya ia telah selesai menunaikan pekerjaan merebus air dan mengisi air ke teko-teko sebagai persediaan minum kami. Kali ini tidak pernah aku lihat Ita demikian rajin dan telaten dalam hal piket kos kecuali pagi ini. Sesuatu yang istimewa mungkin tengah memenuhi ruang hatinya.  Melihat tingkahnya, aku senyum-senyum sendiri di celah pintu kamarku yang sedikit terbuka. Yah, kupikir karena demikian istimewanya kunjungan sang ayah kali ini. Sungguh 2 orang yang saling menyayangi, meski telah kehilangan ibu dan istri yang sama-sama mereka cintai. Ita pun hanya anak tunggal yang ditinggalkan almarhuma. dari google Begitulah aku kemudian teringat ayahku… Sebelum aku merantau ke Jogja, tentu aku senang sekali manakala ayah masak nasi goreng. Bagiku nasi go