Ketika orang lain bangkit, aku terbelenggu?


Palang rel kereta api menyetopku untuk berapa lamanya, meski aku tahu kereta telah lama berlalu.
Aku tak kunjung melaju. Tetap terpaku di atas jok motor dengan muka tertunduk. Aku bingung, bagaimana bisa melaju? Sebab, pandanganku sungguh mengherankan. Setiap kudongakkan kepala, palang tersebut tetap melintang sepanjang aku hendak bergaerak maju, di sisi kanan maupun kiri. Sementara pengendara di samping maupun belakang, terus maju dan mampu menerobos plang yang tiba-tiba menjadi sekadar hologram. Mengapa aku tak kuasa macam mereka?

Sudah berjam-jam aku stagnan diselimuti terik matahari. Anehnya, aku tak berkeringat sedikitpun. Dan entah berapa banyak pengendara yang telah mendahului. Mereka tak pula menjawab teriakan minta tolongku. Padahal aku tampak kesusahan di pinggir jalan. Seolah ada dinding pembatas yang tak kuasa kutembus. Namun, aku bukan laksana hologram bagi mereka. Aku nyata kok. Hei, jangan cuekin aku!!!

Aku putus asa dan tiba-tiba menangis meraung-raung. Menyesali mengapa ini terjadi. Seandainya aku tidak lewat jalan ber-rel ini. Seandainya, aku mau menyambut tawaran Rini untuk dibonceng. Aku tidak akan mengalami kesialan ini! Tangisanku sudah melebihi anak-anak kecil pada umumnya ketika menangis. Semakin keras tangisku, semakin nyata palang tersebut membuka. Ajaib! Tangisku kemudian berhenti sesaat. Meski sedikit terangkat ke atas, kupikir cukuplah aku melewatinya dengan menunduk dan biarlah kutinggalkan motor orang tuaku. Tapi....

Palang itu nyaris memukul batok kepalaku, kalau saja aku tak gesit mundur dan tersungkur kembali. Seolah dipermainkan, aku ngamuk kemudian memaksa mengangkat palang itu. Mencoba melompatinya, atau merayap-rayap di bawahnya. Aku tetap tak kuasa melewati palang itu. Bagaimana tidak? Palangnya bergerak otomatis ke atas, ke bawah, ke tengah. Tak hanya itu, ia pun dapat memanjangkan diri untuk menghalau tubuhku yang mencoba bergerak maju.

Emosiku benar-benar telah melewati batas ambang. Sehingga aku menjadi lemah yang teramat sangat dan secara otomatis, air mataku berguliran. Kali ini aku tak kuasa meraung. Aku capek banget. Memangnya apa hak palang itu, melarangku pergi untuk maju, ke tempat yang aku tuju? Nampaknya aku mengalami halusianasi akibat penderitaan aneh ini. Tempat di hadapanku yang hanya dibatasi oleh plang seketika berubah menjadi lembah hijau yang banyak ditumbuhi bunga warna warni. Aku tak sengaja melihat Rini yang ada di atas lembah yang pojok sedang mengajari anak-anak menyanyi. Tunggu dulu, anak-anak itu, aneh! Mereka tak seutuhnya manusia. Tangan dan kaki mereka terbentuk dari komponen elektronik. Manusia setengah robot, pikirku. Nampaknya, mereka merasa damai dan tak sedikitpun peduli padaku yang berseberangan.

Kondisiku masih seduh sedan dan melongok luar biasa pada pemandangan di depan. Aku benar-benar merasakan iri yang luar biasa. Mengapa aku bukan berada di posisi Rini yang damai berada di lembah itu! Bukannya insyaf, hatiku malah tambah keruh. Aku pun jadi kalap...
Kulempari semua isi ranselku pada mereka. Pulpen, buku, botol minum, flashdisc, laptop hingga sepatuku. Bak tabir, semua yang kuunjalkan, terpental berbalik ke arahku. Kemudian aku sibuk menghindar dari pulpen, buku, botol minun dan flashdisc. Bukk! Laptopku mendarat tepat di jidatku dengan kecepatan yang lumayan. Aku pun tersungkur untuk kemudian tak sadarkan diri....
###
"Noura?"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea

Kisah di Balik Pintu (1)