Menghagai Kelahiran? #1


Aku bertekad, setelah apa yang kupelajari dari seorang teman, bahwa aku harus menghargai hari kelahiranku! Besar kecil penghargaan itu, tergantung dari situasi dan kondisi yang sedang kujalani saat ini. Menurutku penghargaan terbesar untuk merayakannya adalah dengan menghasilkan sesuatu dengan usaha maksimal untuk kemudian kuhadiahkan pada diri sendiri. Lantas, dalam pencarian hingga pagi ini, aku belum pula menemukan yang layak kujadikan persembahan. Susah sekali memilih cara-cara menghargai diri sendiri…

Sembari menunggu ekstrak kulit kerang kering di wajah, aku mulai membuat daftar cara-cara menghargai diri. Dipikir-pikir aneh juga yah, memberikan kado berupa penghargaan untuk diri sendiri. Kebanyakan orang kan diberi kado dari orang lain di hari ulang kelahirannya. Aku jadi menemukan suatu praduga, jangan-jangan aku termasuk orang yang tidak banyak sahabatnya yang peduli pada hari lahirnya. Bagaimana mungkin peduli sih, aku juga tak peduli pada hari kelahiran mereka. Boro-boro kado yang kudapat, sekadar ucapan selamat pun hanya sedikit yang mampir di hape. Maka aku memilih jalur dan jejak temanku dengan memberi kado untuk diriku sendiri. Kuingat-ingat cerita teman manakala ia mempersiapkan jauh sebelum hari H_yah sekitar 3 bulan_ untuk menelurkan sebuah jurnal yang tebalnya hingga 150 halaman. Jurnal ekspektasi hidupnya selama setahun ia tuliskan sebagai bentuk eksistensi dirinya yang berharga. Tentu aku ga akan menjiplak caranya tersebut. Bisa-bisa aku, kewalahan sendiri…Apalagi hari lahirku kan tinggal 3 hari lagi.

Oke, menulis jurnal dicoret dari daftar. Masih ada cara lain seperti menggambar pemandangan, mengumpulkan kliping foto para jurnalis berita, menulis cerpen, membuat masakan yang paling waw dari buku resep yang sebulan lalu kubeli, membeli flash disk atau hardisk baru, atau membeli baju baru. Waah….rasanya semua rencana yang ada di atas kertas ini, terwujud seketika. Aku dengan baju baru sedang duduk di atas puncak bukit yang sepoi, tengah menikmati makanan enak, sembari membolak-balik kliping foto jurnalis, dengan mengantongi flash disk baru dan setumpuk cerpen serta sebingkai lukisan menawan yang siap kupajang di kamar. Aku senyum-senyum membayangkannya, ups, sampai aku lupa wajahku telah amat mengeras. Tentu saja aku harus segera membasuhnya…

Namun, aku masih gamang. Belum ada yang begitu spesial dari daftar yang kutulis. Semua itu bisa aja aku lakukan di hari-hari biasa. Atau mungkin bentuk pengharagaan itu masih terlalu kecil? Hingga perutku benar-benar keroncongan memikirkannya. Saatnya cari makan…
000

"Sa, kalau kamu ulang tahun, paling seneng dikado apa?"
"Tergantung yang ngasih…"
"Emangnya yang ngasih lebih penting daripada isi kadonya?"
"Coba deh, Na kamu bayangin kalau ada 2 orang yang bakal ngasih kamu kado. Pertama, orang yang kamu segani memberikan kado hanya sebatang korek api. Kedua, orang yang paling kamu benci memberikan kamu kue tart setinggi orang dewasa. Kamu bakal pilih orang pertama atau kedua?"
"Hmm, ngapain juga orang pertama ngasih sesuatu yang ga bernilai begitu? Dan ga mungkin juga orang kedua ngasih kue mahal ke aku? Haha, lucu kamu, Sa."
"Sumpah aku serius?! Soalnya aku pernah ngalamin. Beda rasanya, Na! Kamu bakal jadi orang paling bahagia pada hari itu, ketika kamu menerima kado sebatang korek api sekalipun. Namun, kamu juga akan merasa was-was ketika mau memakan kue dari orang kedua.
"Emangnya kenapa? Nyantai aja kali, Sa.."
"Boleh jadi orang pertama ga memberikan suatu yang bernilai secara kasat mata, tapi ia membuka mata hatimu dengan nilai kebaikan. Karena ia yang memberi adalah yang kamu sukai.."
Aku mencerna perkataan Sasa dalam diam sembari menseting telinga seolah seisi ruangan ini sedang disetel musik Kiss The Rain-nya Yiruma. Sasa emang selalu begini, pembawaannya selalu melankolis, meskipun dalam keadaan makan di warung sekalipun! Kemudian, ia melanjutkan.
"dan boleh jadi, kue tart yang diberikan orang kedua, bakal kamu curigai pasti ada udang di balik batu. Macem-macem deh pokoknya, sampai kamu merasa hambar kalau menerima kado itu. Karena yang ngasih adalah orang yang pernah ada konflik denganmu. So, kamu pilih yang mana?"
"Bener juga apa katamu, Sa? Tapi aku masih tetap realistis untuk menerima kue tart dari orang tua. Sayangkan kue mahal-mahal dianggurin? Haha"
"Yakin kamu? Nanti malah keracunana lagi makannya? Mau kamu diracun? Hahaha"

Perbincanganku dengan Sasa, sama sekali belum membuatku menemukan kado terbaik untuk diriku sendiri! Masa aku harus menghadiahi sebatang korek api yang kemudian kuanggap sakral sebagi bentuk filosofi memaknai hidup? Begitu absurd!
000

Ngomong-ngomong soal folosofi memaknai hidup, aku sedikit tercerahkan pada sore hari ini. Akhirnya! Akhirnya! Aku menemukan kado yang menurutku terbaik kuhadirkan pada hari H. Tidak membutuhkan usaha banyak dalam membuatnya. Cukup datang ke tukang kayu, kadonya jadi deh… Sebenarnya ga mesti dari kayu sih, dari marmer, batu kali, bahkan keramik pun bisa. Hanya saja aku, pengen ada nuansa antik dari ukiran dipinggir kayu dan dibubuhi dengan tulisan jenis chiller supaya kerasa nuansa horornya. Aku akan pesan keesokan harinya!
000


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea

Kisah di Balik Pintu (1)