Memoar Inspiratif Mas Muja
Judul : Sebuah Masjid Seribu Kisah (Sepilihan kisah tentang Masjid Mujahidin UNY)
Novi Trilisiana, Mahasiswi UNY
Tim Penulis : Mujahidin Family
Penerbit : Profetika Publishing dan Mujahidin Family
Halaman : 250 halaman
Terbit : Desember 2014
Postingan ini dipublikasikan kembali dari https://melimove.wordpress.com/2015/01/30/memoar-inspiratif-mas-muja/
Segenap penulis telah
mengisahkan dengan khas seputar perjalanan hidupnya yang terpaut pada
Mas Muja, Masjid Mujahidin. Kisah di dalamnya memancarkan kesan bahwa
masjid umpama rumah, keluarga, bangunan sejarah, tempaan ilmu dan
mental, perekat persaudaraan, episentrum peradaban, dan banyak lainnya.
Semua penulisnya memiliki kisah masing-masing yang dirangkum secara baik
sebagai ‘bangunan makna’ dalam pengantar buku ini.
Sejarah berdiri dan berkembangnya
Mujahidin tidak terlepas dari sikap berani dan cinta para pelopor maupun
manusia yang terlibat aktif di dalamnya. Secara garis besar dapat
ditangkap dari berbagai kepingan kisah, Mujahidin mulai terasa geliat
syiar keislaman sejak awal tahun 90-an, di mana mulai terbentuk Takmir
Masjid Mujahidin. Kemudian disusul pembentukan organisasi Islam
mahasiswa, UKKI.
Membaca buku ini kita dibawa pada
perjuangan dakwah Islam dengan suasana akhir masa Orde baru dan
peralihan pada masa Reformasi. Wajar saja karena sebagian besar penulis
adalah mahasiswa era 90-an yang kembali berbagi alih-alih tak sekadar
menulis kisah nostalgia. Kisah perjuangan di kala itu, membuat generasi
sekarang akan ber-O-ria. O, Mujahidin dulu sering kemalingan. O,
Mujahidin jadi tempat berteduh aktivis berlabel takmir maupun penghuni
takmir ilegal. O, Mujahidin dulu dengan kerimbunan pohonnya menjadi
tempat yang nyaman. O, Mujahidin dulu punya radio Mafaza FM sebagai
wadah syiar Islam. O, Mujahidin Punya corong media bernama Progress.
Mujahidin gencar melakukan syiar
lewat media radio dan koran tempel. Tersebutlah Radio Dakwah Kampus
Mafaza FM yang giat mengudara hingga tahun 2002. Sayangnya, studio
Mafaza FM yang berada di salah satu kamar takmir harus berhenti
mengudara karena kendala perizinan terbit. Ada lagi Progress, si koran
tempel, ditempel rutin seminggu sekali pada tempat strategis di wilayah
kampus. Progress sampai sekarang masih setia menebar kebaikan dan sudah
berwujud bulletin.
Mujahidin tempo dulu seolah
menjadi cermin untuk melihat SDM yang berada dalam didikannya.
Manusia-manusia kala itu sangat rajin membaca sehingga pemahaman
keIslaman dan hal kontemporer amat baik. Mereka memiliki daya juang
untuk hidup dan menghidupi jiwa maupun raga dengan sungguh-sungguh.
Mereka bisa saling meneladani satu sama lain. Hasilnya, pada era
sekarang mereka menjadi pribadi yang lebih bermanfaat. Sebagian besar
dari mereka kini mengabdikan diri sebagai ‘pekerja’-nya Allah. Ada yang
jadi pemimpin, pendidik, pengusaha, maupun penggerak masyarakat.
Kualitas SDM kira-kira berbanding lurus dengan kualitas aktivitasnya di
masjid.
Yuk, kita berkenalan dengan mereka!
Di awali oleh kisah penggagas buku ini, Dwi Budiyanto mengisahkan secara lugas dan dalam,
“Di mujahidin, kami dididik untuk meneladani Rasulullah dari hal-hal yang sederhana. Kami diperkenalkan dengan Islam yang anggun dan indah. Dan, untuk seluruh pembiasaan itu saya tidak merasa ditekan, tapi saya merasa disadarkan. Saya tidak merasa dipaksa, tapi saya merasa dipahamkan.”
Setelahnya, ada kisah Abdullah Imadudin tentang itsar
(mendahulukan saudaranya di atas dirinya), suatu akhlak berdaya tarik
magis yang berusaha diwujudkan oleh para aktivisnya. Ada juga Akbar K.
Setiawan yang berbagi kenyataan mengharukan bahwa PR II, Dr. Zuhdi (alm)
membuat surat imbauan sholat berjamaah di Masjid Mujahidin kepada
seluruh civitas akademik.
Ada juga kisah lucu dari Arif Taat
Ujiyanto yang salah tangkap. Ia dan temannya mencurigai seseorang
sebagai pencuri sepatu di Mujahidin lantaran seseorang tersebut
mendekati rak sepatu di saat sholat berjamaah berlangsung. Lucu lagi
adalah sosok yang biasa berperangai keras dan galak ternyata mendapat
sebutan sebagai penjawab telepon takmir yang bersuara lembut. Baginya,
saat jadi pelayan umat ia harus berikan yang terbaik.
Masjid itu adalah fasilitas milik
bersama yang harus kita cintai, rawat, nikmati dan hidupi dengan
kegiatan ibadah dan keilmuan. Kesimpulan tersebut senada dengan
kisah-kisah yang dialami oleh Deden Anjar Herdiansyah, Dilakhira Yasa,
Khairudin, Ph.D, Nasiwan, M.Si, Sabar Nurohman, M.Pd, dan Dr.Suharno.
Pun ada kisah tercipta dari
skenario Allah yang kadang disebut-sebut sebagai ‘tersesat dalam
kebaikan’. Pada awalnya niat tidak demikian tetapi yang terjadi malah
demikian. Ah, betapa Allah sayang pada manusia. Penulis ini pun
demikian: Imam Subekhi (mantan tukang ketik rental komputer), Sigit
Nursyam Priyanto (masuk UNY supaya pondoknya tidak terkena blacklist),
Sujatmika Dwi Atmaja (awalnya ogah-ogahan berorganisasi), dan Deni
Hardianto (tercerahkan karena dua buah permen). Kejadian-kejadian yang
dianggap tak sengaja, secara tak terduga mendekatkan mereka pada
Mujahidin yang isinya aktivis masjid sekaligus aktivis organisasi.
Di bagian akhir, buku ini memuat
celoteh-celoteh generasi sekarang tentang masjid. Seperti Aeni Husniah,
Mifta Damai R., Rizki Ageng M., dan Fika Enggar P. Dilengkapi pula kolom
tentang masjid dan universitas oleh Didik Purwantoro serta
memberdayakan ekonomi dari masjid oleh Mimin Nur Aisyah.
Semua pengalaman yang dikisahkan
tersebut menempatkan masjid memiliki peran yang strategis. Dwi Budiyanto
menegaskan kembali bahwa kampus membentuk orang-orang berkompeten di
bidangnya, sementara itu masjid menyiapkan pribadi-pribadi dengan
orientasi hidup yang benar, visi yang kuat, serta karakter yang handal.
Keduanya saling melengkapi dan menguatkan. Hanya saja beberapa
pengalaman terasa hampir sama karena seperti diulang oleh penulis yang
berbeda. Perulangan pengalaman tersebut tetap menghadirkan hikmah yang
khas dari tiap penulis.
Hadirnya buku ini menjadi suatu
bentuk usaha penyadaran sejarah Mujahidin kepada generasi sekarang.
Ternyata tokoh yang berusaha sholeh dan mesholehkan umat terus lahir di
balik Mujahidin. Pembaca diajak berhenti sejenak untuk bercermin,
seberapa seringkah interaksi dengan masjid atau seberapa berkualitaskah
ibadah didalamnya. Akhirnya, bagaimanapun tiap generasi memiliki
tantangan yang berbeda tetapi generasi yang maju tidak boleh
meninggalkan masjid dengan segala kemashalatan di dalamnya.
Komentar
Posting Komentar