Kisah di Balik Pintu (1)


Ting tong, Assalamu'alaikum.

Bel kos kami memecah kesunyian tadabur Qur-anku. Siapa yang datang di awal zuhur kali ini? Sepertinya aku tidak janjian didatangi tamu. Sepertinya juga bukan tamu anak-anak kos. Hanya ada aku seorang di dalam kos. Aha! Mungkin yang datang adalah Pak Pos! Aku memang menanti-nanti kedatangan paket buku dari pulau seberang. Seharusnya hari ini memang sudah sampai. Maka, bergegaslah aku menghampiri pintu keluar masih mengenakan mukena. Bel lantas berbunyi untuk ke-dua kalinya.


"Cari siapa yah?" Suaraku membahana lorong kos.

"Nyuwun ngapunten, mbak. Saget nyuwun wekdalipun sekedap?"

"Apa?"

"Kulo saking Dinkes badhe maringi sosialisasi pencegahan demam berdarah."

Aku tidak tahu persis apa yang dikatakan bapak di seberang pintu. Pastinya, ini bukan Pak Pos. Hmm, siapa yah?

Sebenarnya aku malas membuka pintu untuk tamu asing. Yah…apa daya, aku keburu bersuara dan entah mengapa suara bapak itu menyeretku untuk segera membuka pintu. Kusembulkan Kepalaku ke luar. Sedangkan, separuh badanku dibalik pintu bagian dalam.

"Cari siapa yah, Pak?"

"Kulo saking Dinkes badhe maringi sosialisasi pencegahan demam berdarah."

Hmm, masih dengan bahasa Jawanya. Aku belum menangkap maksudnya. Kuberanikan untuk ke luar dan menyilakan tamu asing ini untuk duduk di kursi teras. Di hadapanku adalah seorang Bapak bertopi cokelat, berkumis seolah Pak Raden dan menampilkan wajah yang bersahabat. Oke, kesimpulan awalku, ia orang yang tidak berbahaya.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

Sang Bapak mengerti dengan logat bicaraku. Ia pun kemudian berbahasa Indonesia.

"Mbak, ini ada sosialisasi pencegahan penyakit DBD. Ini langkah-langkah pencegahannya. Bisa dibaca sendiri. Mbaknya kan masih muda, jadi saya tidak susah menjelaskannya seperti tetangga sebelah yang sebagian besar manula."


Sekilas kulihat 1 lembar fotocopy-an remang-remang itu tercantum logo Departemen Kesehatan. Ada juga 5 bungkus Abate di atas kertasnya.Aku sempat terharu membacanya. Betapa perhatiannya Depkes kepada kami anak-anak kos, sehingga diutuslah Bapak berkumis nan klimis ini untuk memberikan sosialisasi dan membagikan Abate secara gratis. Apalagi cuaca sekarang memang cocok banget nyamuk berkembangbiak.

"Wah, terima kasih banyak yah, Pak." Senyum tulusku tak lupa kukembangkan beberapa saat. Namun, sontak terkatup kembali manakala anomali terjadi.

"Jadi, semuanya sepulu ribu, Mbak…"

"Maksudnya, Pak? Ini tidak gratis?"

"Satu bungkus Abate hanya dua ribu rupiah, Mbak. Jadi, kalau 5 bungkus yah sepuluh ribu."

"Pak, kalau begitu saya kembalikan saja. Ini pak… Lain kali saja"

"Mbak, tapi ini memang wajib buat lingkungan sekitar sini. Tetangga-tetangga sebelah juga sudah saya sambangi. Besok, belum tentu saya bisa ke sini lagi."

"Hmm, kapan-kapan saja yah Pak. Saya sudah ada raket nyamuk nih." Aku terus berkelit.

"Kalau mbak nya tidak mau beli 5 bungkus, satu bungkus saja ndak apa-apa."

"Waduh, Pak. Bendahara kosnya belum pulang nih. Jadi kapan-kapan aja yah, hehe." Aku tidak rela kehilangan 2 ribu karena situasi penjebakan secara baik-baik ini.

"Ayolah Mbak, Cuma 2 ribu saja."

Ya ampyuun nih bapak. Abate satu bungkus 2 ribu. Ente mau menguras kantong mahasiswa yah?

Singg…nih bapak pake ilmu kanuragan yah? Aku kok jadi merasa iba melihat muka melas-nya. Belum lagi dia harus berkeliling ke-rumah-rumah dengan fotocopyan lepek dan bungkusan-bungkusan Abate di tangannya. Mengapa jadi aku yang jadi 'tersangka' gini, sih.

"Sebentar yah, Pak. Saya ambil uang dulu."


Aku pun mengunci pintu sebagai bentuk antisipasi kalau-kalau ada gangguan tak terduga. Aku kembali bimbang antara memberikan 2 ribu atau tidak menggubris bapaknya dan diam saja di dlam kos. Namun, wajah bapak itu kembali muncul. Yah, jadi merasa bodoh sendiri. Gue ditipu nih..

Akhirnya, pergilah bapak itu dengan selembar uang 2 ribuan.

Memang tidak ada yang gratis di dunia ini.


Novi pada 26 November 2011

Komentar

  1. Hahahah.. ya nda papa Vi itung itung Amal ibadah

    BalasHapus
  2. heheh, emang gitu kok vi. ikhlasin aja..

    BalasHapus
  3. tapi, mungkinkah "Dinkes" menggalakkan program semacam itu? atau sebatas pengakuan tak berbukti? kenapa ga minta surat tanda bukti dinkesnya Vi?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea