Belajar Sabar

Hai! Pagi ini saya teringat dengan Ajeng, muslimah yang semangat mengajak saya terus dalam kebaikan. Ia layak deh jika dimasukkan ke dalam kriteria sahabat yang sebenarnya. Yakni, jika saya memandangnya, yang teringat pasti ke arah akhirat. Rasanya semangat memperbaiki diri terus bergelora jika sedang bersamanya.

Hampir 6 tahun saya mengenalnya meskipun kami tidak setiap hari bertemu, ia serupa Ema, teman semasa SMA. Ia serupa Ema meskipun berbeda cara bicaranya. Ia serupa Ema meskipun berbeda tabiat dan wataknya. Hanya, ia serupa Ema pada semangatnya mengajak saya dalam kebaikan lewat akhlaknya yang cantik nan rupawan.

Ya Allah, gemetar saya ketika teringat pada perkataan Rasulullah bahwasanya orang yang paling dekat tempat duduknya dengan Rasul di akhirat adalah yang paling baik akhlaknya. Orang yang selamat adalah yang paling baik akhlaknya. Pernah dengar juga di hadits yang  diriwayatkan at-Tirmidzi, bahwa orang yang beruntung adalah yang panjang umurnya lagi baik amalnya. Semoga Ajeng & Ema termasuk yang layak dalam kebaikan amal dan keindahan akhlak.

Salah satu kebaikan akhlaknya, Ajeng menyadarkan saya bahwa saya belum tergolong orang yang pantas untuk menikah. Cara ia menyadarkan tidaklah frontal dan langsung tetapi dengan cara yang lembut dan bermakna cukup dalam. Sebab, saya diajak untuk rela tersadar secara sadar.

Singkat cerita, di akhir tahun 2014, saya diajak mabit di masjid Ulul Albab Kampus UII. Tujuannya adalah setoran hafalan quran dan tahajud yang mengkhatamkan 10 juz. Selain itu ada juga kajian sore dan shubuhnya yang diisi oleh ustadz yang tawadhu'. Otomatis semalaman saya bersamanya beserta muslimah lainnya untuk semakon dekat pada Sang Khalik. Serangkaian kegiatan telah terlewati dengan syahdu dan tak rela kami menyiakan barang sedetik pun. Saya cukup mampu mengikuti rangkaian kegiatan meskipun harus kepayahan menahan kantuk. Saya tak heran pada muslimah didikan pondok macam  Darush Sholihat yang mampu secara prima menjalaninya. Seperti Ajeng yang saya kagumi.

Hanya saja pada akhir kegiatan (sekitar pagi pkl 07.00), saya merasa ada yang tidak beres pada Ajeng. Ia seolah memperlambat jam kepulangan dari lokasi kegiatan. Semula, kita menyepakati untuk meninggalkan lokasi tepat pkl 07.00 sehingga saya masih punya waktu untuk menyiapkan diri melanjutkan kegiatan lain pada pkl 09.00. Kegiatan ini amat penting bagi saya.

Jarum jam dengan pongah menuju 7.05 sementara Ajeng masih asyik berbincang dengan musyrifah kegiatan semalam. Entah apa yang dibicarakan. Saya hanya terpaku di kejauhan dengan posisi siap melanjutkan perjalanan pulang. Saya hanya punya waktu 2 jam sebelum acara penting saya dimulai. Hingga prasangka buruk terhadap Ajeng menyelusup halus. Ajeng telah khianat pada janjinya! Ia muslimah yang tidak tepat waktu! Hampir-hampir rasa itu menyesakkan dada jika saja saya tidak ingat bahwa hak muslim adalah mendapatkan prasangka yang baik. Segera saya bergegas mendekatinya untuk melakukan klarifikasi.

Dugaan saya semakin menguat. Membuat lubang hitam yang sempat tertutup sejenak, menjadi buyar seketika. Dengan ringan, ia menasihati saya untuk sabar menunggunya karena ada hal penting yang sedang dibicarakan. Tanpa solusi yang seimbang, yang sama sama menguntungkan, semisal saya diminta pulang terlebih dulu atau ia menyudahi perbincangannya. Tidak keduanya! Saya pun tetap menunggunya bersama jarum waktu yang tak pula berkompromi. Alamak, alamat saya akan telat datang acara berikutnya! Jarak UII dengan kos saya cukup jauh, belum lagi kalau macet, belum mandinya, belum sarapannya. Arrghh..

Saya tidak tega meninggalkan Ajeng begitu saja demi mengejar jadwal supaya tepat waktu. Saya juga tidak ingin dianggap lalai oleh panitia karena datang terlambat. Saya merasakan apa yang ada di antara rasa sedih dan cemas. Rasanya ingin keluar dari ruang realita dan beranjak pada idealita yang saya inginkan.

Hingga akhirnya Allah takdirkan kami untuk meninggalkan masjid tepat pkl 8.00. Dalam dada yang bergemuruh, dalam langkah yang sigap, dalam bibir yang gemetar, saya luapkan pada Ajeng atas perbuatannya yang membuat saya harus menunggu lama. Menyangsikan perilakunya yang tak tepat janji. Rasanya demikian cela apa yang baru saja ia lakukan. Saat itu, saya melupakan bahwa Ajeng juga manusia bukan malaikat. Yang ada dipikiran saya adalah Ajeng haruslah mencerminkan perilaku yang tanpa cacat cela karena ia muslimah yang saya kagumi.

Setelah komplain saya utarakan padanya dengan sedikit cemberut, Ajeng berseloroh ringan, berusaha menenangkan dengan caranya yang tetap tenang. Tanpa merendahkan saya tetapi memberi pengertian. Katanya, "Ukhty yang sholihah, berarti anti belum siap untuk menikah. Belum siap bersabar menyikapi kelalaian-kelalaian yang mungkin dilakukan oleh suami. Belum cukup sabar menunggui suami, toh menunggui temannya sendiri masih belum sabar." Lepas itu, ia tertawa dan melanjutkan perkataan, "Suami adalah teman hidup yang akan menemani kita di dunia selama bertahun-tahun (tentu saja di surga, insya Allah). Otomatis urusan kita adalah sabar dan syukur atas apa-apa yang melekat dari diri suami. Supaya ga kaget, latihan sabarnya sama teman dulu. Hehehe"

'Berkelitnya' Ajeng menyadarkan saya bahwa kesabaran belum menjadi teman baik yang selalu menyertai diri saya. Kejadian ini menjadikan saya introspeksi diri tanpa perlu berdebat panjang. Saya tahu Ajeng sedang memberi saya pelajaran berharga. Boleh jadi sebenarnya Ajeng mampu untuk menyudahi obrolannya tetapi ia ingin saya belajar sabar. Ah, Ajeng memang memiliki caranya sendiri. Saya juga bodoh! Mengenyampingkan ushwatun hasanah, Rasulullah Saw. Akhirnya, saya berseloroh juga kalau muslimah tak tepat janji akan jadi muslimah yang nyebelin. Kami pun tertawa lepas. Semoga malaikat-malaikat yang melingkupi majelis kami di masjid masih belum beranjak dan mereka ikut tertawa dan mendoakan agar persahabatan kami kekal hingga surga. Amiin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea

Kisah di Balik Pintu (1)