Andai Buku Berprasaan...(cerpen)

Oleh: Novi Trilisiana

Aku adalah sebuah buku tua. Dari dalam dirikulah terbuka cakrawala. Jasadku akan musnah, tetapi faedahku tak lekang dimakan usia.

Takdirku adalah menjadi sebuah buku tua yang kini menemani seorang lelaki bergelar ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Dalam keseharianku bersamanya, lembaran tubuhku selalu dibolak-balik, tak jarang digaris-bawahi, atau dibawa serta saat ia mengajar. Di tangannya aku rela bagianku menguning dan lecak. Tak mengapa, demi kebahagiaan anak-anak di kelas. Kini kami ibarat pasangan yang kompak.

Singgasanaku berada di sudut kanan atas meja lelaki itu. Dari situ aku bisa menatap wajahnya lekat. Tergores pula gurat perjuangan di wajah sepuhnya. Seingatku, kami telah bersama hampir 5 tahun. Aku tak sendirian. Ada tiga buku lainnya. Mereka masih tampak baru. Hanya saja, kurasa sang lelaki lebih intens membuka helai-helai tubuhku. Pernah kutangkap ekspresi bahagia ketika ia membacaku. Apalagi ketika hal yang dilupakannya kembali ia temukan dari lembaran pengetahuanku. Ia bahkan hafal benar halaman demi halaman informasi dalam diriku. Duh, bangganya aku…

Meski beberapa bagian tubuhku telah lepas dari perekat, aku tetap merasa masih muda. Mungkin sering berjumpa dengan anak-anak, yah? Ditambah lagi senyumnya setiap kali membacaku. Pupus sudah kejenuhan menjadi buku tua. Ah, aku laksana di angkasa…
-0-

Suatu hari di kamis sore, aku sungguh terkejut. Tak seperti biasa sang lelaki tidak membacaku, bahkan tak membawaku bersamanya ke kelas. Aku gundah bersama puluhan pertanyaan. Hingga perasaanku mulai kacau. Sempat berkelebat hal-hal yang menyakitiku dan aku jadi takut sendiri. Aku takut sang lelaki mendua! Mungkinkah? Senja kelabu kali ini mewakili perasaanku hingga gelap datang menyelimuti.
-0-

Kubuka pagi ini dengan lesu. Sampulku semakin kuyu dan lepek. Lembaran kehidupanku seolah tak bergairah meminta dibuka. Aku bak buku yang pantas di-optame di bangsal rumah sakit. Menyakitkan! Persis ketika si lelaki izin mengajar karena sakit. Karena sakit itulah ia tak membukaku. Namun, kali ini ia tak sakit. Bahkan, raut mukanya riang gembira. Tak tahukah ia padaku yang tengah merana minta diperhatikan?

Bersanding di sebelahku sekarang sebuah buku baru. Kulihat judulnya hampir sama seperti yang tertera di sampulku. Kuamati ia. Usianya masih muda. Tampak sekali baru dicetak. Sampulnya dipenuhi warna-warni dengan gambar menarik hati calon pembacanya. Berbeda sekali dengan aku yang sederhana. Lembarannya berbahan kertas putih dan berwarna-warni pula. Kuselidiki ia, saat si lelaki membukanya. Teman baruku sungguh sangat cantik. Hanya saja, sikapnya sedingin gunung es. Tak sepatah kata pun terlontar untuk sekadar menyapaku. Ketiga temanku yang lain merasakan ketidaknyamanan pula. Namun, aku tak tega memusuhinya, melihat si lelaki bahagia membuka-bukanya. 

Sempat kulihat mata si lelaki berbinar-binar sembari berkata, “Ini buku luar biasa dan sangat sesuai!”. Seingatku ia mengatakan hal yang sama padaku sekitar 5 tahun silam. Betapa girangnya aku mendengar pujiannya saat itu. Pelan-pelan cemburu menyelusup ke dalam diriku.
-0-

Beberapa menit kemudian terlihat seorang lelaki mengenakan jaket cokelat masuk ke ruang kerja pemilikku. Aku lihat mereka bersalaman. Baru setelah beberapa saat, kutahu ia adalah pihak penerbit buku yang sekarang berada di sebelahku. Aku agak gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi? Kudengarkan baik-baik percakapan mereka.

“Serahkan semua persediaan buku baru kepada saya, Pak guru. Semua pasti beres. Apalagi buku ini sangat bagus dan sesuai kurikulum. Bila Bapak mau bekerja sama memasarkan pada anak-anak, saya akan memberikan tip lebih kepada Bapak”. Terang lelaki berjaket cokelat percaya diri. 

Kulihat ekspresi wajah pemilikku. Ia tampak gugup.
“Saya sangat suka kemasan dan isi buku ini, tetapi harganya cukup mahal bagi siswa kami”.
“Bapak guru, bukankah buku berkualitas baik akan berbanding lurus dengan kualitas prestasi siswa?”
Ia meyakinkan pemilikku. Sekilas pemiliku mengagguk pelan.
“Pak guru tenang saja. akan ada komisi ekstra untuk Bapak bila mau bekerja sama dengan saya”. Senyumnya penuh makna.

Aku ingin berontak. Ada apa ini? Ingin kuteriakki pemilikku untuk tidak menuruti bujuk rayu pihak penerbit. Namun, pupus sudah harapanku. Hari yang semakin siang semakin membakar amarahku, meski kupendam dalam diam.
 
Terakhir kulihat sebelum lelaki berjaket cokelat pergi, pemilikku menyetujui tawarannya. Itu berarti akan cukup memberatkan orang tua siswa. Yang paling menyedihkan adalah mungkin pula aku tak akan bertemu anak-anak itu lagi. Senyum kemenangan tersungging pada bibir buku baru di sebelahku. Aku tak nyaman melihatnya. Aku berharap si lelaki masih mau menyimpanku.
-0- 

Si lelaki siap mengajar kembali. Kulihat ia terburu-buru hendak ke kelas. Sebelumnya, ia meneguk teh yang masih panas. Sejurus kemudian tangannya mengarah pada kami. Aku harap tangan itu meraihku. Namun, ah…tidak! Ia melewatiku dan meraih buku baru di sebelahku.

Auw… Aku tersungkur jatuh ke dalam keranjang sampah. Si lelaki tak sengaja menjatuhkan diriku saat meraih buku baru di sebelahku. Tubuhku yang lusuh kini bertambah dekil. Bercampur dengan kertas-kertas perca. Aku menginginkan si lelaki segera mengembalikan posisiku semula, tapi…
-0- 

Apakah ini yang dinamakan patah hati? Aku tergolek lemas dalam keranjang sampah. Bahkan, si lelaki tak menggubrisku lagi. Teman-teman lamaku di atas melirik iba pada nasibku. Mendadak halamanku seolah dipreteli satu-satu. Lemas dan pusing, rasanya. Lantas, kulihat hanya gelap gulita. Sayup-sayup nada berkabung mengiringi mati suriku.
-0- 

Aku sadarkan diri. Ternyata hari mulai senja. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Aku tak tahu dimana aku sekarang. Kuamati sekeliling. Kini aku berada di antara tumpukkan kertas. Berjejalan, tetapi tersusun rapi. Untunglah posisiku paling atas, sehingga aku tak sesak napas. Kertas-kertas lainnya, tampak seumuran denganku. Buku berwarna hijau di depanku mengawasi keadaanku.
“Hei, akhirnya sadar juga kau! Selamat datang, kawan.” Sapaannya membuatku tersadar dari lamunan.
“Eh, oh? Aku?”
“Tepat! Kurasa kita sudah saatnya mengakhiri hidup ini. Ini tempat yang tepat. Ha..ha..”
“Apa yang kau maksud? Aku belum ingin mati!”
“Bodoh! Kita adalah generasi tua, kawan! Kalau kubilang kita veteran yang terlupakan!”
“Hei, hei tunggu dulu! Memangnya kita berada dimana sekarang?”
“Kedai loak sekaligus tempat daur ulang kertas.”
“Apa?!” Aku makin pusing. 

Kesenangan bersama pemilikku, sendah gurau bersama sahabat lamaku, keriangan para siswa-siswa kini tinggal kenangan. Aku telah dibuang! Amarah dan sedih cukup kupendam. Tak ada gunanya lagi. Tinggalah aku yang siap dihantarkan ke gerbang maut: daur ulang! Beginikah akhir sebuah buku tua? 

Sepanjang hari kulalui tak ada yang menggairahkan. Semuanya beraroma suram dan pasrah. Hampir lenyap tanda-tanda kehidupan para kertas-kertas loak ini. Didominasi pula suara mesin-mesin penghancur. Tak ada gairah, meski hanya rasa takut dihancurkan. Pupus harapan senantiasa mencerdaskan anak bangsa. 

Pagi ini kubuka dengan perasaan yang sama seperti kemarin-kemarin. Giliranku tinggal sebentar lagi untuk tamat. Tak ada harapan lagi. Sungguh, tak ada!
-0-

Dari kejauhan kulihat seorang anak lelaki kecil  yang lusuh mencangking karung kecampungnya mendekatiku. Tangan mungilnya yang sedikit kasar membelaiku. Kemudian ia meniup debu tebal disampulku. Udara itu sempat memberikanku kehangatan. Lalu, ia membuka lembaran tubuhku yang telah rapuh. Hingga akhirnya ia mendekapku erat. Kudengarkan detak jantungnya teratur. Wajahnya sungguh bersemangat. Senyumnya manis sekali. Kuduga ia bahagia. Hingga akhirnya aku bergetar menyongsong harapan kecil.

Aku mulai merasakan tanda-tanda kehidupanku mulai meningkat. Aku segera dibawanya pergi meninggalkan ruang berbau kematian ini. Sebelumnya anak ini berterima kasih pada lelaki paruh baya yang menjaga kedai loak. Cepat sekali perubahan hidupku. Aku ucapkan: selamat tinggal kematian…
-0- 

Temaram lampu di ruangan ini tak menyurutkan sang anak menjelajahi cakrawala dalam diriku. Aku mulai semangat memberikan pengetahuan kepadanya seperti yang dahulu kulakukan pada sang lelaki. Kembali lagi masa-masa dahulu ingin dikenang. Kalau ingat itu, mungkin aku akan mengeluarkan air mata. Namun, aku tak tercipta untuk mengeluarkan air beribu makna itu. Cukuplah dengan bersama pemilikku yang baru aku semakin bahagia. Meski, aku khawatir akan dibuang untuk ke dua kalinya.

Entahlah… aku tak peduli masa mendatang. Yang terpenting saat ini aku bahagia bersama pemilikku yang baru, anak kecil yang tangguh. Sampai kapan pun aku adalah buku yang tak akan terlupa. Informasi dari dalam diriku akan menjelma menjadi nafasku yang senantiasa mengiringi kehidupan manusia. Aku tahu aku semakin renta, tapi tak mengapa.

di Wisma Muslimah Nabila

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea

Kisah di Balik Pintu (1)