Stiker Jepang



“Assalamu’alaikum Ms. Novi apa kabar nih? Kemarin Dimas heboh cerita katanya Ms. Novi ke sekolah, katanya Ms. Novi yang bisa bahasa Jepang itu loh, Ma. Masih ingat loh Ma, sama Dimas Ms.-nya”
(Jaringan pribadi Bunda Dimas lewat WA)

Dulu, sekitar awal September 2013, aku memutuskan untuk menjadi guru SD swasta di Yogyakarta. Intis School, namanya. Menggantikan salah seorang guru wanita yang hendak cuti melahirkan tiga bulan lamanya. Hitung-hitung mengisi kekosongan kegiatan sembari menunggu waktu wisuda di bulan Desember. Aku mulai mengajar pada pertengahan semester ganjil. Siapa yang sangka, Allah menahanku lebih lama di sekolah yang unik itu. Masaku diperpanjang. Lagi dan lagi hingga akhirnya aku benar-benar keluar karena harus melanjutkan studi master di bulan Agustus 2014.  

Selama sekitar sepuluh bulan aku belajar praktik pedagogi di lapangan. Tiga bulan di awal, rasanya aku ingin keluar saja. Hampir-hampir aku menyerah dan lelah karena belum bisa menguasai kelas dengan baik. Setelah tiga bulan berlalu, aku mendapatkan kuncinya sehingga mengajar membuatku belajar kesabaran dan kegigihan. Sama halnya dengan bertanam yang prosesnya membuat setiap orang menjadi paling romantis sedunia. Tak boleh menyerah untuk mendidik mereka hingga berkepribadian muslim yang unggul.

Suatu masa yang kuingat tentang Dimas adalah manakala aku menceritakan Toto chan hingga Shinkansen, mengajarkan menulis Hiragana dan mengajarkan kosa kata Jepang, ia teramat antusias. Antusiasnya pun mempengaruhi murid-murid sekelas sehingga bersemangatlah mereka menirukan ucapanku dalam bahasa Jepang. Sama halnya dengan Dimas, aku pun suka mempelajari bahasa dan budaya Negeri Matahari Terbit itu. Rasanya, menyisihkan waktu sisa untuk mengenalkan Jepang kepada mereka sama halnya mengajarkanku bersama mereka berani untuk bermimpi tinggi.

Hampir setiap hari, aku mengenalkan minimal satu kosa kata per hari kepada mereka. Ternyata mereka mudah mengingat dan menguasai. Alhamdulillah, semoga mereka pun bisa mengajarkannya kepada yang lain. Akhirnya guru yang kugantikanpun masuk mengajar kembali, yang membuat aku tidak lagi mengajar Dimas dan teman-teman. Ah, rasanya ingin terus bersama-sama mereka. Mereka sedang mempersiapkan ujian tengah semester genap kala itu. Kupikir saat itu adalah akhir karirku di Intis. Ternyata ada guru wanita lainnya yang minta digantikan karena hendak melahirkan juga. Seketika aku senang meskipun tak mengajar di kelas yang sama.

Aku yang mendadak dijuluki sebagai spesialis pengganti bumil, kemudian mengajar di level satu. Setingkat lebih rendah setahun dari kelas Dimas. Kesenanganku mengajarkan bahasa Jepang tidak lantas berhenti. Sampai salah satu muridku, Aji, sengaja mendatangkan ibunya untuk menghadapku. Meminta agar Aji mendapat tambahan bahasa Jepang kepadaku sepulang sekolah. Permintaan ibunya kurespon sekadarnya. Aku akui bahwa bekal bahasa Jepang selama 3 tahun di SMA tidak mumpuni untuk menjadikanku bisa mengajarkannya dengan baik. Aku hanya suka dan hobi dengan Jejepangan. Anak-anak saja yang menduga aku pandai berbahasa Jepang. Mereka tidak tahu bahwa pengetahuanku sedikit sekali tetapi aku senang berbagi dari sedikit yang kupunya.

Strategi mengenalkan bahasa Jepang, kuubah lebih menarik hati anak-anak. Mereka penasaran ingin tahu kata-kata yang baru setiap harinya. Mereka kubuat untuk berjuang dalam mempelajarinya. Alih-alih mempelajari bahasa Jepang, aku memanfaatkan bahasa Jepang sebagai reward kepada mereka di kelas. Dengan bermodalkan kertas stiker sisa proyek Skripsi dan spidol permanen, aku menuliskan kosa kata Jepang dan artinya lengkap dengan huruf Hiragana di atas stiker yang kubentuk persegi. Aku buat banyak sekali. Setiap mereka melakukan hal yang baik dan semangat belajar, kuberikan stiker itu. Dimas dan teman-temannya pun sering ‘mangkal’ di kelas yang kuajar. Berharap kecipratan stiker. Haha. Tentu saja mereka pandai mengambil hatiku sehingga aku harus produksi stiker lebih banyak lagi.

Stiker Jepang buatanku aku manfaatkan juga sebagai daya tarik saat di Market Day. Biasanya anak-anak bergiliran bertugas menjadi penjual berdasarkan kelas yang telah terjadwal, tetapi ada jadwal dimana guru pun harus kreatif menjadi penjual saat Market Day. Kegiatan Market Day berlangsung rutin pada jumat pagi setelah selesai latihan karate.

Yang kutahu penjual harus memiliki sesuatu yang berbeda untuk menyasar pangsa pasar tertentu sehingga jika ada saingan yang menjual produk yang sama, penjual tersebut bisa unggul di pasar. Aku memutuskan untuk menjual sejenis kroket tetapi berbentuk segitiga yang kubeli di pusat aneka jajanan pasar. Di atas tiap kroket itu, kutancapkan tusuk gigi yang berbendera stiker jepangku. Aku yakin kelasku dan kelas Dimas adalah pangsa pasar paling prospektif.

Market Day dimulai. Jualan para guru pun digelar. Rombongan Dimas dkk belum muncul tetapi murid kelas lain tertarik mendekati jualanku. Rupanya mereka tertarik dengan stiker Jepang yang kubuat dan membeli jualanku. Sebenarnya kroketnya biasa saja tetapi jualanku lekas habis karena mereka ingin memiliki stiker Jepang. Yes! Untungnya Dimas sempat kebagian dan ia senang sekali.

Jualanku telah habis tetapi stiker yang kumiliki masih banyak. Guru di sebelahku mengajak kerja sama agar jualannya berhadiah stiker juga. Kusetujui saja dan jualannya pun segera laris. Rasanya aku tidak boleh lelah menulisi kertas stiker dengan kata-kata bahasa Jepang. Aku menikmati masa itu. Ternyata Dimas merekamnya dengan baik bahwa aku sempat berbagi padanya tentang bahasa kaum yang integritas dan disiplinnya tinggi. Kapan yah, kita bisa sejujur dan sedisiplin orang Jepang? Ah, aku saja masih suka terlambat datang… Rasanya seperti utopia.

Baru kemarin aku kembali menengok Intis dan menyapa Dimas dan teman-teman yang sudah level 4. Aku sebut satu per satu nama mereka dengan ceria. Di dalam kebinaran mata anak-anak, kami rasanya telah lama tak bertemu. Mereka kebanyakan telah berganti gigi yang semula grepes dan menghitam. Masing-masing dari kami membenam memori tentang apa yang sempat kita lalui bersama. Kuharap mereka memendam memori yang baik tentang diriku.

Ini foto Dimas dan teman-teman saat di level 2
Sekarang mereka telah level 4. Giginya sudah tumbuh besar ^^

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea

Kisah di Balik Pintu (1)