Resume Buku: Ayah... Kisah Buya Hamka

Judul buku: Ayah... Kisah Buya Hamka
Penulis: Irfan Hamka
Penerbit: Republika Penerbit
Jumlah halaman: xxviii + 323
Cetakan V, Februari 2014
Peresume: Novi Trilisiana, Indonesia Membaca 2

Buku biografi yang ditulis langsung oleh anak ke-5 Buya Hamka memuat kisah ayahnya. Kisah tentang masa muda, dewasa, menjadi ulama, sastrawan, politisi, kepala rumah tangga, sampai ajal menjemput sang buya. Tentang makna ayah bagi seorang anak yang layak menjadi inspirasi bagi seluruh ayah sejagad.

Penulis membagi kisah tersebut ke dalam sepuluh bagian. Tiap bagian hampir tidak lepas menyuguhkan hikmah. Hikmah dari perbuatan yang tercermin dari kepribadian Buya Hamka. Terutama yang berkaitan langsung dengan pengalaman hidup penulis. Penulis dengan piawai merekam hal yang mengesankan dari sosok ayahnya.

Kesepuluh bab yang pengantar bukunya ditulis oleh Dr. Taufik Ismail, di antaranya, (1) Sejenak mengenang nasihat ayah, (2) Ayah dan masa kecil kami, (3) Ayah berdamai dengan jin, (4) Ayah, ummi, dan aku naik haji, (5) Perjalanan maut ayah, ummi, dan aku, (6) Ayah seorang sufi, di mataku, (7) Ayah dan ummi, teman hidupnya, (8) Si Kuning, kucing kesayangan ayah, (9) Ayah, hasil karya, dan beberapa kisah, serta (10) Ayah meninggal dunia.

Selanjutnya penulis melampirkan biodata Buya Hamka dan dirinya, silsilah keluarga, foto kenangan, testimoni para tokoh yang berlainan faham, dan diakhiri dengan Puisi melankolis dari Ratih Sang.

Nama lengkap ayah penulis adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ayahnya biasa dikenal dengan nama Buya Hamka. Lahir di Maninjau, Sumatera Barat, tanggal 17 Februari 1908, Buya merupakan putra pertama dari pasangan Dr. Abdul Karim Amrullah dan Shaffiah. Buya dan ayahnya pernah mendapatkan gelar kehormatan Honoris Causa dari Universitas Al Azhar, Kairo. Sepanjang sejarah Al Azhar bahwa ayah-anak mendapat gelar HC berturut-turut, baru Buya Hamka dan ayahnya.

Hal yang masih membingungkan saya hingga saat ini adalah di usia berapa persisnya Buya Hamka menikah? Penulis mewariskan detail yang rancu kepada pembaca. Di halaman 212, Hamka dinyatakan menikah saat berumur 19 tahun sedangkan isterinya berumur 16 tahun. Sisi lain pada lampiran biodata, Hamka menikahi Siti Raham Rasul pada 5 April 1929. Jika dihitung dengan tahun lahirnya (1908) maka Hamka menikah di usianya yang ke-21. Isterinya wafat pada tahun 1971 di usia 56 tahun. Jika dihitung kembali isterinya menikah di usia14 tahun. Ahh, sudahlah. Boleh jadi orang zaman penjajahan dahulu tidak begitu mengingat secara valid tahun kelahiran.

Bahasan umur demikian penting karena dari sosok Hamka kita akan belajar keseimbangan antara kematangan mental maupun fisik. Keseimbangan akil maupun baligh. Berbeda sekali dengan sosok manusia zaman sekarang yang rerata lebih matang baligh-nya ketimbang akil-nya. Masih ingat kan fenomena menstruasi anak perempuan yang semakin dini, ataupun anak lelaki usia SD yang terpaksa menjadi seorang bapak sementara ia belum mampu memikul tanggung jawab itu.

Di mata penulis yang lahir di tahun 1943, ayahnya adalah pejuang kemerdekaan. Saat penulis kecil, bersama keempat kakaknya dan kedua adiknya, Hamka tiada gentar menyulut semangat perjuangan rakyat Sumatera Barat. Hamka berani menempuh perjalanan panjang, masuk hutan keluar hutan maupun menyeberangi sungai berarus deras. Wibawa Hamka tersebut menjadikan orang di sekitarnya mengamit kembali optimisme. Namun demikin, kewibawaan itu tidak membuat Hamka berjarak dengan anak-anaknya. Bagi penulis, Hamka adalah orang yang paling tahu tentang dirinya setelah ummi-nya.

Kembali penulis mengisahkan bahwa betapa melimpah kasih sayang tercurah dari sang ayah. Seperti dalam subbab, Ayah guru mengajiku, Ayah imam shalatku, dan Ayah guru silatku. Penulis juga belajar dewasa dari pengalaman hidupnya bersama ayah dan ummi-nya. Seperti ketika penulis di usia 25-an saat diajak naik haji bersama. Dahulu naik haji masih banyak dilakukan menggunakan jalur laut yang memakan waktu sekali perjalanan pergi hingga setengah bulan. Penulis dan ummi-nya juga sempat melawat ke Suriah, Lebanon, dan Irak menemani sang ayah, sebelum bertolak dari Mekkah menuju Indonesia. Kunjungan tersebut untuk memenuhi undangan Dubes Indonesia perwakilan ketiga negara itu. Selebihnya, kehadiran Buya Hamka untuk mengisi ceramah pada mahasiswa maupun WNI yang ada di sana. Banyak hal yang mendewasakan penulis dari tiap kebersamaannya bersama ayah. Hal yang tak mungkin terlupakan adalah pengalaman 3 kali menyapa maut dan bagaimana ayahnya memberikan tauladan kepasrahan pada Sang Khalik.

Hamka tidak pernah putus asa dalam menuliskan kebaikan melalui majalah Islam, Panji Masyarakat. Ia juga menulis sastra seperti Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Ia mengkader anaknya untuk aktif menulis di Panji Masyarakat. Namun demikian, fitnah yang dilancarkan oleh aktivis PKI oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer cs melalui koran Lentera mengakibatkan karya-karyanya dilarang terbit. Hamka dituduh melakukan plagiarisme terhadap karya sastrawan asal Prancis. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dianggap karya bajakan dan dituduh tanpa bukti yang jelas.

Bahkan, Hamka dituduh melanggar Undang-undang Anti Subversif Pempres No.11 yaitu merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Fitnah yang sampai sekarang tidak terbukti itu mengakibatkan Hamka mendekam di hotel prodeo selama 2 tahun. Baru setelah rezim Soekarno runtuh, ia dibebaskan. Peristiwa itu tidak disesalinya karena Hamka merampungkan tafsir Al-Qur'an yang diberi nama tafsir Al-Azhar.

Buya Hamka adalah sosok yang tegas tetapi lembut juga pemaaf. Penulis menyaksikan sendiri bahwa ayahnya sangat tegas pada kemurnian Tauhid. Namun sangat toleran dalam bermuammalah. Hamka yang berseberangan faham dengan Pramoedya Ananta Toer (PAT), tetap melarang memberangus karya-karya PAT tetapi menyeru untuk menandingi dengan karya-karya memuat nilai kebaikan. Betapa kebenaran yang timbul tidak membuat Hamka jumawa. Cukuplah pendapat penulis mewakili kebesaran hati sosok ayahnya, bahwa "satu sifat ayah yang aku kagumi, Ayah tidak pernah berpikiran negatif kepada orang lain. Siapapun mereka, Ayah selalu berprasangka baik dan memiliki keyakinan bahwa orang pasti dapat berubah menjadi baik."

Uniknya lagi, tokoh politik yang sering berbenturan  dengannya adalah Ir. Soekarno dan Moh. Yamin meminta Hamka menemani akhir hayat mereka. Soekarno pernah berwasiat bahwa, "Saya ingin bila wafat kelak, Hamka bersedia mengimami shalat jenazahku." Sedangkan Moh. Yamin berpesan agar ditemani di saat akhir hidupnya dan diantar jenazahnya hingga kampung halaman di Talawi.

Buya Hamka bukanlah sosok yang sempurna tetapi kita patut meneladani Hamka dalam mendidik anak-anaknya. Ia adalah ayah yang berusaha memposisikan sikap sepatutnya pada tiap kondisi. Dengan bimbingan Ilahi, ia mendidik dan menjalani kehidupan bersama keluarganya dengan asas tauhid yang rahmatan lil 'alamin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea

Kisah di Balik Pintu (1)