Rumah
Aroma rumah yang
khas di hidungku senantiasa kutunggu-tunggu kala menjelang lebaran atau liburan
semester kuliah. Bagiku rumah adalah tempat tumbuh kembangku, saksi bisu
sejarah aku dan keluargaku, serta tempat yang senantiasa patut untuk dikenang…
Sejatinya suatu
benda mati seperti rumah bukanlah inti yang amat dirindukan. Namun, kesan dan
kisah dari benda mati yang diciptakan manusialah yang menciptakan magnetis
kerinduan. Rumah atau benda mati lainnya hanya media yang membantuku menyimpan
dan mengenang kembali kasih sayang keluargaku, prilaku konyol kakak dan adikku,
juga daya juang kehidupan yang kutumbuhkan. Sebab, di rumahlah suka dan duka
kami enam beranak terselenggara setiap harinya. Hampir 18 tahun aku merasakan
detik-detik yang terjadi di rumah secara intens. Namun, kini rumahku yang
merekam kasih sayang makhluk di dalamnya termasuk aku adalah kosanku.
Setidaknya ada empat
rumah yang telah merekam jejak-jejakkku dan keluarga kandung maupun saudara
WMN. Tentu di posisi pertama adalah rumah pertama keluarga inti ku yang ada di
Bandar Lampung, tepatnya di kecamatan Tanjung Senang. Disanalah aku lahir dan dibesarkan
hingga hampir 18 tahun. Sampai paragraf ini, kubayangkan dari pra TK- SMA
dimana aku tidur, bermain, kejar-kejaran dengan adik dan kakak, bersembunyi
usai menjahili anak tetangga, main perang-perangan, monopoli, koboi,
masak-masakkan, menonton tivi, memasak, makan bersama, membantu menjemur
pakaian, mandi, bersantai, sholat bersama, memberi makan ternak, mengerjakan
PR, merajut cita-cita, membaca buku, membuat prakarya, bergelayut manja pada
ibu, dan lain-lainnya. Ada cerita suka maupun duka di sana. Namun, aku sebagian
besar masih mengingat sesuatu yang menyenangkan.
Di posisi kedua yang
paling berpengaruh dalam hidupku adalah Rumah kontrakan aku dan kakakku di
Pogung Rejo, Yogyakarta. Aku menempati rumah ini , saat umurku belum genap 18
tahun. Aku harus pindah jauh dari keluarga dan rumah tercinta di Lampung.
Meskipun hanya 7 bulan aku menempatinya, kontrakkan ini merekam momentum
transformasi seorang Novi sebagai mahasiswa. Saat inilah, kurva kehidupanku
melonjak naik dan kadang turun dari kurva sebelumnya yang masih datar. Saat
inilah kemandirian dituntut dan kebebasan dikontrol sendiri. Aku pun harus
beradaptasi dengan segera. Kakakkulah yang berperan penting dalam proses sulit
yang pertama kali kualami di Yogyakarta dan jauh dari kedua orang tua. Thanks,
kak. Berkat kamu aku tidak perlu berkepanjangan diserang homesick.
Aku kemudian
teringat akan ruang-ruang rumah dimana kami beraktivitas. Aku terkenang dimana
aku tidur, belajar, memasak makanan bersama, menonton tivi bareng (entah
mengapa selera nonton kita masih belum sinkron yah, bro. Hehe. Selalu saja kita
berebut remot, memperjuangkan selera masing-masing) dan lain-lainnya.
Keterlibatan emosi kakak dan adik benar-benar kurasakan dan senantiasa
kurindukan... Aku sendiri amat menyukai bagian belakang kontrakkan dengan udara
yang sejuk setiap sore. Di sana terhampar jurang dan aliran kali code yang
diiringi harmonisasi cicit burung, soang, dan sesekali suara elang dan
peranjak.
Namun demikian, aku
harus pergi mencari rumah lain yang kuyakini lebih membelajarkanku. Selain itu,
aku membutuhkan keluarga baru untuk belajar
melakukan sosialisasi dan menghargai perbedaan. Jadinya, aku meninggalkan
kakakku di kontrakkan dan pindah ke Wisma Muslimah Nabila (WMN)_tempat kosku
sampai saat ini. Bagiku, WMN menempati posisi ke tiga golongan rumah kenangan.
Meskipun aku harus tinggal di kamar yang berukuran setidaknya 2,8 x 3 meter,
aku tidak pernah menyesal tinggal di sana.
Setiap pertama kali
teman-temanku datang, beberapa di antaranya akan nyeletuk: "wah kamarnya bagus yah… Bagus
buat dijadikan gudang, hehe." atau "Vi, kalau ke kanan atau ke kiri
atau ke depan maupun ke belakang, mataku sulit menemukan ruang kosong
yah." Aku maklum dengan komen teman-teman. Barang-barang yang mendukung
proses belajarku di Jogja sedikit overload dengan kotak-kotak kertas, buku dan
koran. Namun, aku sangat nyaman sekali tinggal dan merajut asa di kamar
mungilku. Meski banyak isinya, kamarku tetap tertata dengan rapih. Kamarku ini
adalah tempat paling favorit untuk menulis dan menggali ide, lho… Dan tetap ada
ruang kosong untuk sholat atau berolahraga.
Lingkungan di WMN
memberikanku makna untuk saling berbagi makanan, perlengkapan sehari-hari,
kisah serta saling menjaga zona hak milik pribadi dan bersama di antara kami
berdua belas. Kami dibiasakan menjalani piket kos dan piket toilet. Setiap 12
hari sekali aku akan dengan senang hati memasak air 2-3 kali untuk memenuhi
teko bersama, merapihkan rak sepatu dan rak piring bersama, menyapu halaman
dalam dan luar kos, membuang sampah, menyusun alas kaki dan membersihkan
wastafel. Begitu juga toilet yang setiap anak kebagian jatah tiap sebulan
sekali.
Penghuni WMN baik
yang senior, sebaya maupun junior semua memiliki watak yang beragam. Dari
keberagaman merekalah aku banyak belajar ilmu manusia yang bagi Temple Grandin
adalah masalah yang sulit dipecahkan. Kami saling mengingatkan, saling bersenda
gurau, saling berlomba-lomba dalam beribadah, serta saling menceracau gundah
gulana. Namun, tak sedikit konflik yang ujung-ujungnya penuh hikmah…Pastinya
aku akan sangat rindu dan senantiasa mengenang WMN di suatu masa yang akan
datang.
Terakhir, di poisisi
ke empat adalah rumah baru kelurgaku di Bandar Lampung. Setidaknya sudah hampir
setahun terakhir, kami resmi pindah ke rumah baru yang tidak jauh dari rumah
lama. Pembangunan rumah ini memakan waktu yang tidak singkat dan pengorbanan
yang tak sedikit pula. Berkat ketekunan dan kesabaran ayah dan ibuku selesailah
sudah pembangunan yang memakan sekitar 10 tahun. Berat memang, jika harus
meninggalkan rumah lama. Apalagi rumah lama begitu berkesan bagi kedua orang
tuaku dan tentu saja aku! Kini, rumah lama masih kosong dan belum ada yang
berniat mengontraknya. Keluarga kami harus bersabar sampai menemukan calon
penghuni yang sesuai kriteria. Sebab, rumah kenangan yang satu ini tidak boleh
ditempati oleh sembarang orang!
Rumah baru kami
sedikit lebih luas dan asri. Namun, ikatan emosi dan sosial yang masih sedikit
kubangun atau kualami, menjadikan rumah ini belum banyak menyimpan kenangan
bagiku. Tak jarang aku masih menginginkan tinggal di rumah lama, saat aku masih
kecil. Namun, aku hanya bisa mengenang. Itu saja sudah cukup…
Demikianlah hidungku
mencium seruak wangi kepulangan ke rumah… Bukan rumah lama, kontrakkan, ataupun
WMN. Namun, rumah baru yang Allah berikan sebagai perlindungan bagi ayah, ibu,
adik,dan kakakku… Aroma itulah yang senantiasa merangsang perasaan untuk merindu
berjumpa dengan keluarga. Sekali lagi bukan rumahlah yang menyebabkan rindu,
tetapi ikatan emosi pada keluarga yang menarik magnetis kerinduanku...
Komentar
Posting Komentar