Memoar di Ormawa


Beberapa waktu lalu sahabatku SMA memintaku untuk menuliskan hal yang lucu, mengesankan, dan berpengaruh dalam dunia perkampusan yang kualami. Sepertinya akan dijadikan acuan buat adik-adik Smanda. Hehe, begini isinya. Baru saja malam ini kurampungkan. cekidot!

Halo kawan, namaku Novi Trilisiana! Aku biasa dipanggil dengan sebutan Novi. Namun, belakangan  beberapa teman memanggilku sebagai Opi, Nope, Trilili bahkan Krik. Tentu aku tidak akan membahas mengapa namaku menjadi begitu aneh. Aku akan menceritakan sepenggal episode kehidupanku di Yogyakarta. Begini ceritanya…

Hampir 18 tahun masa hidupku semenjak dilahirkan, kuhabiskan di Bandar Lampung bersama keluarga inti. Sesungguhnya aku dialiri darah Sumatera Selatan yang menjadikanku cukup akrab dengan adat istiadat Palembang. Orang tuaku hijrah dari kampungnya demi penghidupan yang lebih menjanjikan. Mereka pekerja keras yang amat peduli pada pendidikan anak-anaknya. Jadilah aku seorang yang melek huruf, agama, teknologi dan sosial masyarakat. Mereka sangat kukagumi deh pokoknya…

Namun, masa transisi antara lulus SMA dan masuk kuliah membuatku galau. Pilihan kuliah di Lampung atau luar Lampung (tepatnya Jawa) seolah menarik ulur kegamanganku. Di satu sisi aku menginginkan studi kependidikan yang ada di Jawa, di sisi lain aku sulit lepas dari orang tua. Aku tahu, mereka akan mendukung pilihanku meskipun sesungghuhnya amat berharap aku tetap di Lampung. Aku yang demikian bergantung pada keluarga mengalami dilema. Hingga akhirnya kutetapkan pilihan pertama di Lampung dan kedua di Yogyakarta saat mengisi formulir SNMPTN jalur IPS. Tentu saja pilihan tersebut telah ditentukan atas perjalanan spiritual yang panjang. Hingga akhirnya…

Tepat 3 Agustus 2009, aku resmi menjadi mahasiswa UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) dengan program studi Teknologi Pendidikan. Ketetapan Allah-lah yang menghantarkanku pada pilihan kedua. Dia pulalah yang menguatkanku menempuh perjalanan selama 20 jam dari Bandar Lampung hingga Sleman Yogyakarta. Kegalauanku terjawab sudah. Ups, jawaban inilah yang membuka tantangan baru dalam tahun-tahun perkuliahanku ke depan.
***

Ormawa…
Aku menemukan hal baru tentang konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi, setidaknya dari tulisan-tulisan senior dalam buletin promosi UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) saat Ospek. Konsep tersebut juga digembor-gemborkan Dekan FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan) dan Rektor UNY yang disinergikan dengan visi UNY: Cendekia, Mandiri, dan Bernurani. Aku dan mahasiswa baru lainnya dipropokasi menjadi mahasiswa yang tidak sekadar Kuliah Pulang_Kuliah Pulang (Kupu_Kupu). Namun, kami harus menjadi mahasiswa yang unggul akademiknya, cakap menemukan dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, serta cakap dalam berorganisasi dan bermasyarakat. Oleh karena itulah, tempat yang cocok menjadi demikian adalah Ormawa…

Kami menyebutnya sebagai Organisasi Mahasiswa_tempat kami merapatkan barisan, merajut persahabatan, membagi pengalaman, mendiskusikan ilmu, dan memikirkan kampus dan masyarakat. Secara fisik, gedung ormawa fakultasku hanya memiliki dua lantai dengan 12 sekat (sebagai sekret BEM, DPM, HIMA, dan UKMF). Selain itu, terdapat 2 toilet, 1 ruang sholat, 1 ruang pertemuan, 1 garasi pertemuan, 1 tempat kursi tamu dan 1 ruang ngeband. Ada yang mengatakan makhluk yang eksis di Ormawa adalah aktivis kampus. Yah, demikianlah predikat itu disematkan pada mahaiswa yang aktif di keorganisasian kampus. Begitulah Ormawa yang kukenal.

Aku menyadari bahwa, kehidupan usai perkuliahan tidak semudah dan seideal yang dibayangkan. Ibarat memasak nasi, lauk, dan sayur dengan 3 kompor sekaligus. Jika 3 jenis pangan tersebut dimasak bersamaan dengan 3 kompor maka matangnya hampir bersamaan. Berbeda jika 3 jenis pangan itu hanya dimasak dengan 1 kompor saja. Belum pula matang nasinya, lauk yang sebelumnya telah dimasak sudah habis dimakan karena tak tahan lapar. Begitulah analogi 3 peran mahasiswa yang semestinya dilakoni secara bersamaan, yakni belajar, mengaji (berdakwah), dan berorganisasi. Semuanya tidak dapat dikerjakan satu per satu tetapi harus sekaligus. Mengingat waktu ternyata tunggal, tidak bisa diganti dan terus berjalan. Ormawa cukup mewadahi dari aspek kegiatan organisasi.

Pada posisiku sebagai mahasiswa baru yang tidak mengetahui dahsyatnya pergolakan pemikiran dan kepentingan berbagai pihak_harus selektif dalam memilih organisasi. Aku harus menimang-nimang konsekuensi dari pilihan yang kuambil dalam berorganisasi. Dulu, aku memang bukan organisatoris di banyak ekskul SMA. Hanya Rohis SMA yang kugeluti. Oleh karena itu, aku tak cukup memiliki gambaran tentang, BEM, DPM, HIMA dan UKMF (Penelitian, Rohani, dan Musik). Alih-alih hendak selektif, aku malah penasaran dengan DPM (Dewan Pertimbangan Mahasiswa), HIMA (Himpunan Mahasiswa), KMIP (Keluarga Muslim Ilmu Pendidikan) serta REALITY (UKMF Penelitian Research and Learning Community). Jadilah aku bergabung dengan 4 organisasi internal kampus dan 1 organisasi eksternal kampus.

Awalnya aku menikmati pilihanku tersebut. Toh, aku ingin menjalani filosofi kompor seperti yang kujelaskan sebelumnya. Aku juga meyakini kalimat sakti macam ini: Lebih baik berani mencoba dahulu kemudian gagal, ketimbang gagal di awal untuk mencoba. Aku bukannya lupa pada konsekuensi yang akan didapatkan dengan 5 organisasi sekaligus. Namun, mau tidak mau aku babak belur menjalaninya. Mau tahu bagaimana rasanya? Coba saja sendiri! Aku tidak mau panjang lebar menjelaskannya kepada pembaca yang budiman. Sebab, ini sesuatu yang amat kelam dan lucu untuk diungkit-ungkit.

Sampai akhirnya pada kesimpulan bahwa aku harus memilih satu di antara 5 yang paling optimal untuk kujalani. REALITY! Itulah rumah dan keluarga yang mengajariku perjuangan, persaudaraan, kepedulian, toleransi, dan konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi. Inilah organisasi yang amat kucintai setelah Ronda (Rohis Smanda). Ada ikatan batin dan daya magnetis antara aku, REALITY, dan Ronda. Semua pasti atas karunia Allah yang Maha Pemurah. Kalau ga karena karunia-Nya, langkahku tidak akan tergerak untuk memasuki Ormawa.
***

Setelah Hampir 3 Tahun…
Ormawa kini bukanlah tempat yang paling sering kukunjungi lagi. Sebab, tempatnya telah ada dalam relung hatiku. Cukuplah aku mengetuk pintunya seumpama aku mengetuk nuraniku untuk bertanya sejauh mana kontribusiku, wahai mahasiswa! Jangan salah sangka, sahabat! Aku bukan orang yang lupa pada kampung halaman. Namun, aku teramat pilu ketika tergambar kegiatanku dan teman-teman di sana ketika berada di Ormawa. Aku memang tak patut menyalahkan masa studi yang mendekati akhir. Toh, masih banyak teman seangkatan yang senantiasa berkeliaran di Ormawa. Aku… hanya malu dan rindu. Itu saja cukup. Tak perlulah kau tahu mengapa aku takut mendekati malu dan rindu.

Maka kepada mahasiswa dan calon mahasiswa, tentukanlah orientasi kuliahmu dan kontribusimu. Apapun pilihannya: mau jadi aktivis kampus, mahasiswa kupu-kupu, aktivis masyarakat, setidaknya Ustadz Basuki Rahmat mengatakan hidup ini adalah untuk melayani Allah dan memenuhi kehendak-Nya. Bukan semata mengharap Syurga dan menghindari Neraka. Menuju Allah-lah yang paling manis untuk dicapai ketimbang mencapai miliknya Allah. Sebab, baik syurga maupun neraka hanyalah miliknya Allah.

***

@WMN
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea

Kisah di Balik Pintu (1)