Tasawuf Modern-nya Buya Hamka


Bahagia itu dekat dengan kita, ada di dalam diri kita. Demikianlah kalimat yang nampaknya bisa mewakili inti buku Buya HAMKA ini selain memang sudah tertulis pada cover bukunya, sih. Apa yang pembaca pikirkan mengenai tasawuf? Bukanlah tasawuf itu, yang menyendiri sendiri untuk beribadah dan melupakan penghidupan dunia. Bukan pula ia yang sibuk mengejar dunia dan lupa pada akhirat. Melainkan menurut Junaid, tasawuf adalah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.

Kaum tasawuf juga dikenal sebagai kaum sufi. Kalau di Indonesia kaum sufi boleh jadi dikaitkan dengan tarikat. Misalnya, Tarikat Naqsyabandiyah, Syaziliyah, Samanaiyah, dan sebagainya. Tarikat semacam ini biasanya memiliki aturan-aturan sendiri yang saklek seperti amalan-amalan khusus. Padahal, tasawuf sebenarnya tidaklah memiliki aturan tertentu yang saklek. Menurut HAMKA “tasawuf sejatinya adalah salah satu filsafat Islam, yang maksud awalnya hendak zuhud dari dunia fana. Tetapi lantaran banyaknya bercampur gaul dengan negeri dan bangsa lain, banyak sedikitnya masuk jugalah pengkajian agama dari bangsa lain itu ke dalamnya. Karenanya tasawuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya pula dengan tidak sadar, telah tergelincir dari agama, atau terasa enaknya pengajaran agama lain dan terikut tanpa terasa.” Jadi, tasawuf adalah suatu ikhtiar memperbaiki akhlaq dan mencari kebahagiaan dengan zuhud meskipun ada yang salah kaprah dalam implementasinya.

Di awal saya membaca buku ini, timbul petanyaan bahwa manakah yang lebih dulu dipelajari, tauhid atau tasawuf? Apakah melalui tasawuf, bisa menjadi tangga mentauhidkan Allah? Ataukah mengenali terlebih dahulu kaidah-kaidah tauhid, kemudian memperhalus budi melalui tasawuf? Atau bisakah keduanya berbarengan? Lalu, dengan keterbatasan pemahaman, saya mencoba mendalami buku ini. Bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat adalah tujuan akhir dari ikhtiar bertasawuf. Semua muslim semestinya merupakan sufi yang mencapai kebahagiaan dunia dan akhiratnya dari ketauhidan.

Buya melanjutkan dengan pertanyaan bahwa apakah artinya bahagia. Mulai dari pemikiran Aristoteles, Hendrik Ibsen, Leo Tolstoy, Bertrand Russel, hingga pendapat Muhammad Saw. Perspektif semua tokoh tersebut bercorak dan mengandung perbedaan. Ada yang merumuskan arti kebahagiaan tetapi pada akhir hidupnya memilih untuk bunuh diri yang sekaligus menjadi suatu kontradiksi kebahagiaan. Ada juga yang mengatakan bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat dapat dicapai melalui kebahagiaan spiritualitas. Enaknya tulisan ulama modern seperti Buya ini adalah ia mampu membandingkan pemikiran-pemikiran tokoh filsafat dunia.

Rasulullah Muhammad Saw pernah ditanya oleh ‘Aisyah ra tentang apakah kelebihan setengah manusia dari yang setengahnya? (h. 24) Rasulullah pun menjawab yang intinya, manusia dianggap lebih dengan akalnya. Dengan akalnya, apakah manusia baik ma’rifatnya dengan Allah, apakah baik taatnya bagi Allah, dan apakah baik pula sabarnya atas ketentuan Allah. Setiap orang punya derajat akal yang berbeda-beda sehingga kebahagiaan yang dicapai pun dianggap berbeda-beda pula. “Jadi, derajat bahagia manusia itu berdasarkan derajat akalnya, karena akal dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka.” (h.27) Akal dapat mencapai puncak kebahagiaan yaitu mengenal Allah. Rasulullah bersabda sebagai jawaban atas pertanyaan seseorang tentang arti dan rahasia kebahagiaan, bahagia itu ialah tetap taat kepada Allah sepanjang umur.

Kalau kata ustadz Bahtiar Nasir bahwa lebih dari sekadar bahagia ialah kita ridha pada Allah sebagai Tuhan kita, Muhammad Saw sebagai rasul, dan Islam sebagai agama sehingga Allah pun meridhai kehidupan dunia dan akhirat kita. Masya Allah.... Rumus mendapatkan kebahagiaan (bahkan lebih dari sekadar bahagia) itu sekilas nampak sederhana, kan hanya bermodal ridha, akan tetapi konsekuensi ridha tersebut amat kompleks. Kalau kita ridha Allah adalah Tuhan yang patut disembah, sudahkah kita bergegas menyambut seruan untuk sholat ketika sedang asyik menonton TV. Kebanyakan kita masih menghargai Tuhan seharga acara televisi.


Buku ini menyajikan topik-topik seperti kesehatan jiwa, kesehatan badan, qana’ah, tawakal, dan hal-hal yang membuat seseorang tidak bahagia. Contoh-contoh yang dijelaskan Buya masih relevan untuk dibaca generasi sekarang. Namun demikian, penulisan periwayatan hadits Rasulullah, masih belum memadai. Tulisan Buya lebih banyak yang tidak mencantumkan perawi dan sanad haditsnya. Akhirnya, apabila pembaca ingin mempertanyakan konsep kebahagiaan dicapai dari bertasawuf bisa mulai membaca buku Tasawuf Modern karangan HAMKA ini. [NT-Jogja]

Judul Buku : Tasawuf Modern
Penulis : Prof. Dr. HAMKA
Penerbit : Republika Penerbit, Jakarta
Tahun Terbit : Agustus 2015
Jumlah Halaman : xx+377
Peresume : Novi Trilisiana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea

Kisah di Balik Pintu (1)