Tentang Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana atau biasa disingkat STA mengingatkan saya pada romannya yang berjudul Layar Terkembang. Sejak SMP saya membaca potongan roman tersebut. Kemudian saya SMA memutuskan untuk mencari roman utuhnya. Bahagia menemukannya di perpustakaan sekolah, tidak lantas membuat saya menuntaskannya. Ternyata romannya tidak begitu menarik.
Pengalaman saya
sepekan terakhir, STA muncul kembali di deretan rak pameran buku yang digelar
anak-anak Ilmu Budaya UGM. Ada yang megganjal pikiran saya bahwa bicara tokoh
budaya maupun sastra pasti tidak hanya STA. Mengapa tidak muncul karangan Amir
Hamzah, Putu Wijaya, atau yang lebih modern Taufiq Ismail? Mengapa hanya STA?
Usut punya usut, ternyata pameran buku yang baru saya hadiri adalah penggemar
buku-buku sosialisme dan pluralisme. Belakangan saya tahu STA sempat aktif
dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dan organisasi sosialis lainnya. Buku-buku
yang dijual tergolong anti agama dan banyak diproduksi oleh penerbit-penerbit
indie.
Terlepas dari
prolog bagaimana saya mendapatkan buku ini, bahwa biografi seorang budayawan
STA amat perlu didalami. Seselingan kabar sempat saya dengar bahwa STA adalah
bapak yang memodernisasikan bahasa Indonesia. Ia merupakan budayawan,
sastrawan, sekaligus intelektual yang pemikirannya dipengaruhi dalam 3 zaman;
masa penjajahan, orde lama, dan orde baru.
STA yang akrab
dipanggil Takdir dilahirkan pada 11 Februari 1908 di Natal, Sumatera Barat.
Sebagian masa kanak-kanaknya ia jalani di Bengkulu karena sejak usia 4 tahun
keluarganya meninggalkan Natal. Takdir berayahkan Raden Alisjahbana yang
berprofesi sebagai guru sekolah dasar di Semangka, Bengkulu sedangkan ibunya
bernama Poetri Samiah. Takdir merupakan anak kedua dari lebih sepuluh
bersaudara.
Kedudukan ayahnya
yang terpandang membuat Takdir memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan
di HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau Sekolah Belanda untuk Masyarakat
Pribumi pada tahun 1915-1921 di Bengkulu. Setelah lulus, ia melanjutkan ke
Kweekschool di Buktitinggi yang merupakan sekolah guru negeri untuk masyarakat
bumiputra. Karena alasan ekonomi, Takdir dipindah ke Kweekschool Lahat,
Sumatera Selatan yang lebih sederhana. Ia tidak lama di sana sehingga ia pun
berpindah lagi ke Kweekschool Muaraenim.
Takdir aktif di
organisasi kepemudaan yang bernama Jong Sumatranen Bond. Darah mudanya
membuatnya memasuki pergerakan pemuda. Ia amat terkesan dengan Soekarno. Takdir
menuturkan keterpesonaanya begini, “Ketika itu, saya sangat berminat kepadanya,
sebab saya mendengar pidatonya di depan umum yang besar sekali ketika ia
menyambut Stokvis, seorang sosialis. Ketika itu saya dapat melihat, pandai
betul dia berpidato.” (hal.17)
Pada 1925,
setahun sebelum Takdir menamatkan sekolahnya di Kweekschool Muaraenim, ia
dikirim ke Hogere Kweekschool Tegallega, Bandung. Ia merupakan anak terpandai
yang mewakili sekolahnya ke Bandung. Takdir berada di Bandung antara 1925-1928.
Selama di Bandung, Takdir bergabung di PNI (Perserikatan Nasional Indonesia)
akan tetapi ia tetap menjadi murid terpandai dalam mengarang. Di saat ia kelas
dua, ia mulai menulis roman Tak Poetoes Diroendoeng Malang dan diselesaikan
saat ia lulus.
Takdir yang aktif
dan haus akan ilmu menjadikan kegiatan membaca sebagai kegiatan favorit. Ia
gemar mendalami bahasa asing seperti Belanda dan Jerman. Ia sangat mahir
menulis dalam bahasa tersebut akan tetapi sangat lemah ketika berbicara. Maka
ketika ada tes sebagai pengajar yang menyaratkan lulus tes lisan bahasa
Belanda, Takdir gagal. Kegagalannya dalam ujian tersebut justru membuat Takdir bersemangat
memajukan bahasa Indonesia secara serius.
Takdir lalu
menyelesaikan romannya yang berjudul Dian
jang Tak Koendjoeng Padam pada 1932, Lajar
Terkembang pada 1937, dan Anak
Perawan di Sarang Penjamoen pada 1940. Semua karya tersebut diterbitkan oleh
Balai Poestaka. Masa itu merupakan
masa produktif Takdir sebagai sastrawan dan ahli bahasa. Takdir amat mencintai
kegiatan literasi hingga karirnya tidak jauh-jauh dari redaksi dan penerbitan
karya tulis. Ia sosok redaktur yang tekun dan haus akan ilmu.
Takdir berupaya memajukan bangsa Indonesia lewat sastra. Takdir bersemangat sekali menuju modernisasi bahasa maupun bangsa dengan cara mengambil nilai-nilai positif dari tiap bangsa luar. Takdir mengagumi bangsa Eropa dan Amerika dalam hal ini. Menurutnya, orang Melayu mesti masuk ke dunia modern. Sastra Melayu pun harus dimasukkan ke sastra modern. Takdir memasukkan sastra Eropa dan Amerika sebagai perbandingan dan mendekatkan sastra Melayu ke sana.
Takdir berupaya memajukan bangsa Indonesia lewat sastra. Takdir bersemangat sekali menuju modernisasi bahasa maupun bangsa dengan cara mengambil nilai-nilai positif dari tiap bangsa luar. Takdir mengagumi bangsa Eropa dan Amerika dalam hal ini. Menurutnya, orang Melayu mesti masuk ke dunia modern. Sastra Melayu pun harus dimasukkan ke sastra modern. Takdir memasukkan sastra Eropa dan Amerika sebagai perbandingan dan mendekatkan sastra Melayu ke sana.
Judul Buku : S. Takdir Alisjahbana: Perjuangan Kebudayaan Indonesia
Penyusun : Muhammad Fauzi
Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta
Jumlah Hal : 132
Tahun Terbit : 2011 /Cetakan kedua
Peresume : Novi Trilisiana, Indonesia Membaca 1
Komentar
Posting Komentar