Saya Anak Rohis dan Saya Bukan Teroris!


Sekarang ini sedang hangat-hangatnya pemberitaan miring oleh Metro TV tehadap keberadaan ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah (Baca: Rohani Islam (Rohis)) yang dianggap sebagai tempat kaderisasi (sarang) terosis. Meskipun berita miring itu belum sepenuhnya benar dan hanya menilai sebagian dari sampel yang tidak mewakili. Sungguh tidak adil menarik kesimpulan dengan hanya mempertimbangkan secuil dari sebagian besar yang benar. Dari dulu pemberitaan semacam ini sudah sering terjadi, hanya saja kali ini pemberitaannya cukup besar  sehingga menarik perhatian penonton.


TERORISME. Jika ditinjau maknanya, kata ini berarti  kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil. b. memengaruhi kebijakan pemerintah. c. memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan . Pasted from <http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorismeSedangkan, ROHIS yang saya ketahui berarti juga kegiatan ekstra sekolah yang memfasilitasi anggotanya untuk memperdalam ajaran Islam dengan pendekatan yang menarik remaja. Lantas korelasi dari keduanya ada dimana? Jika ditarik garis lurus untuk masing-masing variabel di atas maka garis tersebut ibarat garis vektor yang berlawanan. Satu ke kanan satu ke kiri. Tidak pernah bertemu. Namun, jika dicari-cari celah kesalahan ditambah lagi fakta pelaku-pelaku bom bunuh diri adalah pemuda yang masih SMA  maka garis tersebut bisa saja berpotongan. Hingga munculah tagline: Waspadailah dan jauhilah anak Anda dari Rohis jika tidak ingin berakhir menjadi Teroris! Tragis banget dengernya. Soalnya sulit bagi saya menerima sesuatu yang jelas hitam kemudian disamakan dengan  sesuatu yang jelas-jelas putih, kecuali mereka yang buta.

Sementara isu teroris dan rohis tengah merebak, pamor ektrakulikuer di sekolah (tidak hanya ROHIS) saya sedang turun. Mungkin juga di sekolah pembaca pun demikian. Siswa sekarang sudah malas mengikuti ekstrakurukuler lantaran jam belajar yang padat dari pagi hingga sore. Fenomena ini tidak lain disebabkan berubahnya status sekolah saya dari RSBI menjadi SBI yang seutuhnya. SBI sungguh bernafas liberalisme  yang mengkomersialisasikan pendidikan serta memaksa anak untuk berbahasa asing dan tidak menjadikan bahasa ibu menjadi tuan rumah. Karena SBI, anak-anak cenderung pragmatis dan materialistis. Mereka tidak akan rela kehilangan waktu hanya untuk rapat, diskusi tentang Islam,  dan merancang acara pengajian. Lebih baik mengikuti bimbel dan menghasilkan nilai-nilai berkepala 9 di laporan akhir.  Semoga sinisme saya  terhadap SBI ini memang wajar lantaran banyak kebenaran-kebenaran yang terkuak atas gagalnya SBI sebagai produk pendidikan yang berkualitas. Sah-sah saja jika pembaca menyangsikan hal ini. Saya harap akan ada balasan yang ilmiah untuk pembenaran SBI ini!

Saya rasanya ingin membuktikan bahwa ROHIS yang pernah saya ikuti selama 3 tahun di SMA sungguh tidak mendidik saya menjadi teroris. Kenangan saya tentang masa-masa kejayaan ROHIS di zaman saya mungkin bisa  memberikan pembelaan atas pemberitaan miring baru-baru ini. Kira-kira 6 tahun yang lalu, saya yang masih lugu harus berangkat pagi-pagi ke sekolah yang letaknya sangat jauh dari rumah. Kalau sebelumnya saya hanya jalan kaki ketika berangkat ke SD maupun SMP, kini saya harus menaiki 2 kali angkutan umum yang bisa menghabiskan 1 jam perjalanan untuk mencapai SMA. Saya yang baru belajar mengenakan jilbab memiliki rasa ingin tahu yang besar pada Islam. Saya ingin sekali menjadi anggota FBI di ROHIS SMA. Saya rasa ilmu agama yang mumpuni akan mengantarkan saya ke Syurga. (Kala itu saya masih berpikir secara sekuler_memisahkan antara agama dan dunia). FBI sendiri merupakan singkatan dari Forum Bina Insan yang merupakan kegiatan andalan ROHIS bidang Dakwah. Saya tertarik mengikuti FBI karena pendekatan yang digunakan sangat saya sukai.  Jika pembaca berada di posisi saya sebagai seorang remaja kala itu pasti akan lebih tertaik mendengarkan kakak pemandu yang ceria dan seru daripada mendengarkan ustadz Zainudin MZ. Belum lagi ada tambahan game dan makanan gratis. Remaja mana yang punya gairah belajar Islam yang bisa menolak untuk ikut FBI?

Sekali lagi dari istilah hingga metode yang digunakan oleh pengurus ROHIS dari A sampe Z memang gaul, kreatif, top, mengena dan membekas sampe sekarang. Saya masih ingat nama kegiatan rutin nonton bareng fenomena kemunculan Dajjal dan film-film Islam lainya. Kami biasa menyebutnya dengan NO-BAR alias Nonton Bareng. Secara tidak langsung kata itu mengkampanyekan kita juga harus anti pada tempat maksiat yang bernama Bar. Ada juga acara Pekanan yang dikemas dengan menarik untuk diikuti secara asyik. Pekanan ini intinya adalah kajian umum khusus putri yang dilaksanakan rutin tiap pekan. Biasanya yang mengisi adalah ustadzah-ustadah muda dan tak jarang alumni ROHIS pun ikut mengisi. Pernah juga mengundang trainer nasyid, pembuat bros jilbab, dan orang-orang muda yang mumpuni.

Tidak hanya hal-hal urgen seperti membenahi tauhid pada Allah saja yang dikembangkan. Kami juga diajari membuat tulisan genre Opini oleh Forum Lingkar Pena Lampung. Jika di antara kami sangat tertarik pada dunia jurnalistik dan tulis menulis kami bisa datang setiap pekannya untuk belajar menulis bersama. Kami menulis cerita pendek, puisi, prosa, essay, bahkan ada yang semangat menyelesaikan Novel! Tentu aliran tulisan kami ibarat aliran lagu-lagunya Opick. Kami juga pernah membuat film dokumenter bersama. Kami pun belajar berwirausaha dengan menjual roti ke tiap-tiap kelas dan membuka toko mungil di dekat masjid. Kami juga sering berolahgarag bersama. Biasanya kelompok putra bermain sepak bola dan kelompok putri bermain badminton.

Sesekali juga dalam 3 bulan kami pergi ke tempat wisata alam yang belum banyak dikunjungi turis. Tafakur alam katanya. Mulai dari pantai yang berbatu terjal, lembah hijau yang asri nan sejuk, serta bukit yang panas dan berdebu. Kami dibiasakan menjadi petualang dengan menyelesaikan misi-misi yang ditugaskan. Otomatis yang anak mami serba klinis, yang individualis, yang psimis, yang tak berkumis, yang korelis, yang plegmatis, yang melankolis, dan yang sangunis mau tidak mau harus bersatu untuk menyelesaikan misi tersebut. Konsepnya sih outbond yang dikemas di alam. Nah, kegiatan tafakur alam inilah yang paling saya sukai.

Mungkin dari semua kegiatan tersebut, FBI lah yang dicurigai paling potensial mengkader seseorang menjadi teroris. FBI ini dirancang melingkar dengan 1 tutor dan beberapa siswa. Biasanya terdiri dari 3-10 orang tiap FBI. Biasanya tutor yang tidak kreatif akan memberikan dogma-dogma agama tanpa memperhatikan majemuknya karakter siswa. Namun banyak juga tutor yang mengemas metode penyampaian untuk memahamkan siswa dengan cara yang kreatif. Namun, masyaAllah tega banget kalau ada yang bilang bahwa forum semacam ini telah mencekoki  ilmu terorisme kepada siswanya! Kami hanya ingin mengenal lebih dalam   agama Islam dan membiasakan diri untuk tetap Islami bersama-sama. Bukankah kaum pemuda harus megenal Allah dengan segala peraturan yang diciptakan? Kaum pemuda juga nantinya akan tua dan memimpin bangsa, bukan? Salahkah kami belajar agama untuk mengikuti kehendak yang punya Bumi ini?

Dari semua keluh kesah saya alias curhatan dari romatisme masa muda saya, saya belajar beragama sekaligus berkarya dan tak satu pun saya belajar menjadi teroris! Pengen rasanya saya menaiki kereta api pergi ke Jakarta untuk menemui Surya Paloh dan bilang: Pak, Saya Anak Rohis dan Saya buka Teroris! Plis jangan publikasi berita yang merobek hati banyak anak-anak Rohis...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea

Kisah di Balik Pintu (1)