Tasawuf Modern-nya Buya Hamka
Bahagia itu dekat dengan kita, ada di dalam diri kita. Demikianlah kalimat yang nampaknya bisa mewakili inti buku Buya HAMKA ini selain memang sudah tertulis pada cover bukunya, sih. Apa yang pembaca pikirkan mengenai tasawuf? Bukanlah tasawuf itu, yang menyendiri sendiri untuk beribadah dan melupakan penghidupan dunia. Bukan pula ia yang sibuk mengejar dunia dan lupa pada akhirat. Melainkan menurut Junaid, tasawuf adalah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.
Di awal saya membaca buku ini,
timbul petanyaan bahwa manakah yang lebih dulu dipelajari, tauhid atau tasawuf?
Apakah melalui tasawuf, bisa menjadi tangga mentauhidkan Allah? Ataukah
mengenali terlebih dahulu kaidah-kaidah tauhid, kemudian memperhalus budi
melalui tasawuf? Atau bisakah keduanya berbarengan? Lalu, dengan keterbatasan
pemahaman, saya mencoba mendalami buku ini. Bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat
adalah tujuan akhir dari ikhtiar bertasawuf. Semua muslim semestinya merupakan
sufi yang mencapai kebahagiaan dunia dan akhiratnya dari ketauhidan.
Buya melanjutkan dengan pertanyaan
bahwa apakah artinya bahagia. Mulai dari pemikiran Aristoteles, Hendrik Ibsen,
Leo Tolstoy, Bertrand Russel, hingga pendapat Muhammad Saw. Perspektif semua tokoh
tersebut bercorak dan mengandung perbedaan. Ada yang merumuskan arti
kebahagiaan tetapi pada akhir hidupnya memilih untuk bunuh diri yang sekaligus
menjadi suatu kontradiksi kebahagiaan. Ada juga yang mengatakan bahwa
kebahagiaan dunia dan akhirat dapat dicapai melalui kebahagiaan spiritualitas.
Enaknya tulisan ulama modern seperti Buya ini adalah ia mampu membandingkan
pemikiran-pemikiran tokoh filsafat dunia.
Rasulullah Muhammad Saw pernah
ditanya oleh ‘Aisyah ra tentang apakah kelebihan setengah manusia dari yang
setengahnya? (h. 24) Rasulullah pun menjawab yang intinya, manusia dianggap
lebih dengan akalnya. Dengan akalnya, apakah manusia baik ma’rifatnya dengan
Allah, apakah baik taatnya bagi Allah, dan apakah baik pula sabarnya atas
ketentuan Allah. Setiap orang punya derajat akal yang berbeda-beda sehingga
kebahagiaan yang dicapai pun dianggap berbeda-beda pula. “Jadi, derajat bahagia
manusia itu berdasarkan derajat akalnya, karena akal dapat membedakan mana yang
baik dan buruk. Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah
datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup,
bertambah datanglah celaka.” (h.27) Akal dapat mencapai puncak kebahagiaan
yaitu mengenal Allah. Rasulullah bersabda sebagai jawaban atas pertanyaan
seseorang tentang arti dan rahasia kebahagiaan, bahagia itu ialah tetap taat
kepada Allah sepanjang umur.
Kalau kata ustadz Bahtiar Nasir
bahwa lebih dari sekadar bahagia ialah kita ridha pada Allah sebagai Tuhan
kita, Muhammad Saw sebagai rasul, dan Islam sebagai agama sehingga Allah pun
meridhai kehidupan dunia dan akhirat kita. Masya Allah.... Rumus mendapatkan
kebahagiaan (bahkan lebih dari sekadar bahagia) itu sekilas nampak sederhana,
kan hanya bermodal ridha, akan tetapi konsekuensi ridha tersebut amat kompleks.
Kalau kita ridha Allah adalah Tuhan yang patut disembah, sudahkah kita bergegas
menyambut seruan untuk sholat ketika sedang asyik menonton TV. Kebanyakan kita
masih menghargai Tuhan seharga acara televisi.
Buku ini menyajikan topik-topik seperti
kesehatan jiwa, kesehatan badan, qana’ah, tawakal, dan hal-hal yang membuat
seseorang tidak bahagia. Contoh-contoh yang dijelaskan Buya masih relevan untuk
dibaca generasi sekarang. Namun demikian, penulisan periwayatan hadits
Rasulullah, masih belum memadai. Tulisan Buya lebih banyak yang tidak
mencantumkan perawi dan sanad haditsnya. Akhirnya, apabila pembaca ingin
mempertanyakan konsep kebahagiaan dicapai dari bertasawuf bisa mulai membaca
buku Tasawuf Modern karangan HAMKA ini. [NT-Jogja]
Judul Buku : Tasawuf Modern
Penulis : Prof. Dr. HAMKA
Penerbit : Republika Penerbit,
Jakarta
Tahun Terbit : Agustus 2015
Jumlah Halaman : xx+377
Peresume : Novi Trilisiana
Komentar
Posting Komentar