Novel Jodoh
Mengenang adalah kata kerja paling mendominasi
dalam novel ini. Kisah dalam kisah yang menjadikan tema jodoh sebagai benang
merah. Fragmen asmara Sena dan Keira ditulis melalui sudut pandang ke-aku-an
Sena, lelaki yang disebut-disebut sebagai anak kecil yang menjadi dewasa di
usianya. Ia pernah menganggap dirinya sebagai pria biasa tetapi mencintai
dengan cara yang tak biasa. Lebih memilih menjaga cinta di tengah-tengah godaan
yang berpeluang menistakannya. Ia dan Keira sadar pacaran adalah jalan yang tak
sepatutnya tetapi bukankah kisah cinta tiada yang sempurna jalannya? Begitulah
Fahd memaklumi mereka yang dimabuk cinta dan berupaya hati-hati dalam menjalani
pacaran.
(sumber gambar: fahdpahdepie.com)
(sumber gambar: fahdpahdepie.com)
Sena mencintai Keira sejak pandangan pertama,
saat awal masuk sekolah dasar. Cinta karena suka pada rambut hitam dan panjang
Keira, senyumannya, caranya berjalan, dan suaranya yang merdu. Sena menyukai
apa-apa yang ada dalam diri Keira meskipun sering mendapat balasan yang
sebaliknya. Keira bersikap antipati dan menganggap Sena sebagai gangguan. Lebih
tepatnya, ia tidak ingin takluk pada upaya-upaya Sena mencintainya. Sena tahu
diri dan tetap merawatnya dalam sanubari hingga kemudian mereka kembali satu
sekolah, pondok pesantren di Garut.
Kesempatan untuk berteman dengan Keira kembali
muncul meskipun mereka dipisahkan oleh sistem pondok pesantren. Semua
dipisahkan antara pria dan wanita. Mereka baru bisa berkumpul bersama saat
upacara maupun acara besar. Kenyataanya, pondok memiliki satu pintu gerbang
yang dianggap Sena sebagai peluang besar untuk memanipulasi kejadian agar ia
bisa berpapasan dengan Keira. Sekadar menyapa demi mendengarkan suara Keira,
atau kalau beruntung demi mendapat senyumannya. Tiap kali terjadi pertemuan
yang singkat itu, sosok Keira berhasil membuat jantung Sena deg-degan. Sena
pernah menghitung perubahan degub jantung normalnya setiap kali bertemu Keira.
Hasilnya, peningkatan yang signifikan terhadap degub jantung menandakan
demikian besar kadar jatuh cintanya kepada Keira.
Kisah cinta diam-diam di lingkungan pesantren
mungkin orang sudah banyak yang tahu. Seperti surat-suratan dan diam-diam
bertemu di luar saat pesantren libur. Mereka lakukan untuk mendapatkan
kebahagiaan. Bagi saya, ini sebuah kritikan bagi dunia pendidikan Islam. Kenyataannya,
para remaja sekarang sudah matang secara biologis tapi belum siap untuk mandiri
dan bertanggung jawab. Mereka berani mencintai tapi bingung bagaimana
menafkahi. Dalam novel ini, respon pembina pesantren sangat tegas. Memilih
pendekatan hukuman yang keras sebagai konsekuensi pelanggaran. Bukankan anak
muda yang belajar mencintai perlu mendapat tempat yang teduh demi meluruskan
bagaimana cara terbaik untuk mencintai? Orang-orang dewasa yang menjelma jadi
sahabat karib sangat mereka perlukan agar cinta yang suci tidak makin legam dan
tercemar.
Atas nama cinta, sesuatu yang terlarang nampak
indah. Itu wajar karena iblis dari zaman Nabi Adam sampai sekarang sudah sangat
terampil membisikkan manusia untuk mengikuti nafsu yang berbalut cinta. Pakar
psikologi menganggapnya itu manusiawi karena ketertarikan terhadap cinta dan
kasih sayang merupakan kebutuhan manusia. Menjadi tidak wajar manakala
kebutuhan tersebut dipuaskan dengan cara yang sejatinya memperturutkan emosi
dan nafsu semata karena hidup perlu beragama, bukan?
Demikian pula yang terjadi dalam dilematisasi
kisah Keira dan Sena. Mereka di satu sisi, bermain di antara api tetapi di sisi
yang lain, bersikeras menjaga kehormatan satu sama lain. Atas nama cinta, Sena
kemudian memilih untuk menjauh tak memberi kabar selama 4 tahun. Demi kebaikan
mereka. Sebab, pertahanan iman saja tidak menjamin tercegahnya penistaan cinta
dari berjuta kesempatan untuk bersentuhan, berpelukan dan berciuman. Sena dan
Keira perlu fokus mengejar impian-impian mereka lewat karya.
Lantas, apakah mereka benar-benar akan menikah di
kemudian hari? Ada satu titik kelemahan Keira yang membuat cinta mereka
terkadang berbalut lara. Ada satu ketakutan Sena yang membuat cinta mereka
dibayangi nestapa. Jika cinta ditulis penuh derita tiada akhir begini, kapan
bahagianya? Tenang, kisah cinta manusia generasi tahun 90-an ini bisa buat kamu
tersenyum-senyum. Bagaimana mereka bahagia boleh jadi mirip-mirip pengalaman
kamu. Iya kamu, yang disebut generasi 90-an. Ah, sudahlah.
Rasa-rasanya, di dunia nyata, banyak juga dua
insan yang berpacaran. Mereka saling mencintai tetapi belum mampu melangkah ke
jenjang pernikahan dimana menikah adalah tahap awal menyebut pasangan yang sah
sebagai belahan jiwa, jodoh. Pembaca setia tulisan Fahd Pahdepie bukanlah
seluruh muslim-muslimah yang paham. Banyak juga pembaca yang masih terus
belajar untuk dewasa menyikapi perkara cinta dua kekasih. Melalui Jodoh,
penulis mencoba mengetuk ruang hati siapapun untuk kembali bertanya
"Apakah jodoh?"
Baik Keira maupun Sena kembali mempertanyakan,
apakah mereka berjodoh. Sena memiliki alasan kuat atas keyakinan bahwa Keira
jodohnya. Sebab, ia ingin selalu membahagiakan Keira. Ia berjuang seperti
lelaki dari negeri antah beranta yang terus berjalan untuk menemukan wanita yang
setia menunggunya. Sebagaimana yang ditulis penulis bahwa "cinta selalu
membutuhkan ketidaksempurnaan, untuk membuktikan kesempurnaanya", membuat
kisah Keira dan Sena layak untuk dikenang. Bagaimanapun sosok yang sempurna
belum tentu jodoh tetapi jodoh yang sempurna adalah kematian. [NT]
Judul: Jodoh
Penulis: Fahd Pahdepie
Penerbit: Bentang
Cetakan ketiga, Januari 2016
Jumlah halaman: 246
Komentar
Posting Komentar