Stop Bersih Perbanyak Sampah!

Tujuh tahun saya di Jogja, saya masih melihat rupa yang sama bapak pengangkut sampah rumah tangga. Bertambah tahun, sampah yang ia angkut semakin menggunung sementara gerobak mulai lusuh dan reyot. Tingkah anak-anak kos juga belum banyak mengalami perubahan, masih tidak lepas menghasilkan sampah, terutama sampah plastik. Heran, sampah di lingkungan kos kami tidak berkurang-kurang, sampai ingin menambah bak sampah lagi.

Keberadaan sampah dapat mengundang tikus untuk mendekat. Tabiat tikus tahu sendirilah yah… suka mengobrak-abrik sampah yang ada di tong sampah kemudian membawa lari sampah beraroma sisa makanan dan menimbunnya ke lubang persembunyian mereka. Mereka tidak mengenal jalan mana yang boleh dan tidak untuk dilalui. Kalau mereka mengerti, mungkin saya akan pasang di pangkalan lubang dengan palang “Dilarang lewat saluran pembuangan air kos kami!” atau yang lebih darurat “Lewat saluran ini berarti mati!” Kocak! Mana ada hewan bisa mikir. Manusia yang bisa berpikir aja masih suka melanggar, apatah lagi hewan. Suka-suka tikus dong mau lewat gorong-gorong mana.

Dampak rutin yang sering muncul akibat tabiat tikus ini adalah tersumbatnya saluran air. Kalau sudah begini, akan tercium aroma tidak sedap karena air meleber ke sana ke mari. Kami jadi kebakaran jenggot dan menyalahkan tikus sebagai dalang kejadian ini. Kami mungkin lupa pada pepatah tidak ada asap jika tidak ada api. Kita sebagai makhluk yang bisa berpikir harusnya introspeksi diri bahwa ada yang salah dalam perilaku sehari-hari kita. Harusnya kita tanya pada sanubari terdalam dengan kalimat “Apa yang bisa saya lakukan agar muara dari masalah ini tidak terjadi, atau minimal tidak semakin memburuk?” Jangan hanya pasrah dengan kenyataan bahwa hidup manusia tidak bisa lepas dari menghasilkan sampah sehingga timbul perasaan, “Yah…mau gimana lagi? Beli makan membutuhkan plastik, belanja ke pasar juga. Rempong bawa-bawa tas belanja.”

Padahal plastik adalah sampah yang paling sulit terurai secara alami kecuali kalau mau langsung dimusnahkan dengan cara dibakar. Konsekuensinya, proses pembakaran dapat mengancam kesehatan masyarakat, terutama para pengelola sampah yang tidak memakai pelindung standar. Saya teringat bapak pengangkut sampah yang hanya mengenakan pakaian seadanya. Boro-boro mau pakai masker dan sarung tangan, sandal jepit saja jarang dipakai.

Langkah awal yang perlu kita (secara pribadi) lakukan adalah langkah pencegahan. Saya menulis ini untuk mengajak kamu, panjenengan, sampeyan, saudara, saudari, dan saya sendiri untuk sebisa mungkin mengurangi pemakaian plastik. Tidak memudah-mudahkan membuang plastik. Kalau bisa dipakai berkali-kali, maka pakailah. Lebih bagus lagi, kalau merasa alergi ketika lihat plastik sehingga sekuat tenaga memakai media lain yang lebih sedikit risiko kesehatannya. Misalnya, pakai tas kain, bawa tempat makan, dan tumbler.

Sedikit repot di awal, menurut saya bukanlah masalah besar. Ini soal komitmen atas rasa cinta kita pada diri sendiri, orang di sekitar, dan bumi secara lebih luas. Kecuali, komitmen kita tidak kuat maka kuatkanlah komitmen itu. Saya pernah ditertawakan di awal karena terlihat aneh setiap beli makan membawa kotak makan dan tas kain. Sempat membuat penjual bingung karena tidak terbiasa. Pernah dicibir, disepelekan, dan dianggap sok-sokan. Ada dua pilihan sikap pada saat itu: Berhenti atau berjalan terus. Saya memilih berjalan terus. Sesuatu yang baik harus diperjuangkan. Suatu perubahan besar tidak akan terjadi tanpa perubahan kecil dalam diri. Saya perlu mengalahkan egoisme pribadi dan menganggap pendapat yang melemahkan sebagai pelecut.

Kalau pun memang kita terpaksa mendapat jajanan berplastik saat mengahadiri suatu acara, saya mau mengajak saudara/i untuk sedikit repot. Terinspirasi dari seorang ibu yang duduk di samping saya ketika kami dalam satu majelis ilmu. Snack yang telah habis ia makan, plastiknya ia lipat sekecil mungkin dengan teknik yang membuat lipatan tersebut terkunci. Jadinya kecil dan berbentuk seperti bunga. Beberapa plastik diperlakukan dengan sama. Kemudian, kotak kue yang tersisa, ia lipat-lipat pula sehingga tidak ada ruang kosong di dalamnya. Tidak berhenti di situ, saya yang baru selesai menghabiskan snack, tidak luput dari jemarinya yang telaten. Sembari tersenyum, si ibu memperlihatkan karyanya dari sisa-sisa plastik kami. “Supaya tidak memenuhi ruang bak sampah”, jelasnya sembari mengelus-elus pundakku. Pertanyaannya sekarang adalah mau dan bisakah kita meneladani si ibu?

Sebagai akhir tulisan ini, ada beberapa kalimat yang menuai konsekuensi jika kita menerapkannya. Kalau tidak ingin bersih maka perbanyaklah sampah! Kalau tidak ingin sehat maka bersikap mas bodo saja! Sebaliknya, kalau ingin bersih dan sehat maka beranilah untuk mengurangi dan mengelola sampah!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku: Self Driving

Ringkasan The Old Man and The Sea

Antara Cinta & Ridha Ummi