Resume Buku: Fasting Spirit for Couple
Judul Buku : Fasting Spirit
for Couple
Penulis : Jon Hariyadi
Penerbit : Pustaka Elba,
Surabaya
Jumlah Hal : 178
Tahun Terbit : 2009
Peresume :
Novi Trilisiana, IM1
sumber gambar dari www.tokofitrah.com
Masih seringkah
kamu mendengar kesedihan kebanyakan orang ketika bulan Ramadhan pergi meninggalkannya?
Banyak kesedihan mereka terucap dalam andai-andai maupun kata-kata rindu penuh
harap supaya berjumpa kembali. Mereka sedih karena ibadah seperti puasa,
membaca qur’an, sholat tarawih, sedekah, zikir, dan sebagainya di bulan
Ramadhan akan terasa sulit dilakukan di bulan-bulan lain. Pahala yang dijanjikan
pun tidak lagi berlimpah-limpah sebagaimana di bulan Ramadhan.
Sebaiknya
kesedihan ditinggal bulan Ramadhan diatasi dengan menjadikan bulan lainnya
seolah bulan Ramadhan. Semua ibadah yang telah dilakukan saat Ramadhan tidak
kita tinggalkan tetapi tetap kita lakukan di bulan berikutnya. Kita bisa meraih
taqwa usai Ramadhan manakala hati kita senantiasa ridho menjalankan ibadah
selayaknya di bulan Ramadhan. Boleh jadi intensitasnya sedikit menurun
mengingat adanya perbedaan kondisi semangat. Jika Ramadhan, ibadah dapat
dijalankan dengan mudah karena banyak orang berlomba-lomba beribadah dan Allah
swt membelenggu setan. Akan tetapi di bulan lainnya, semangat tidak terlalu
membara karena banyak orang kembali mengejar dunia dan melupakan tempaan
ruhiyah Ramadhan. Nah, buku ini hadir dengan pandangan agar kita tidak larut
dalam kesedihan ditinggal Ramadhan tetapi tetap konsisten me-Ramadhan-kan bulan
yang lainnya. Bahkan, penulis memberikan spesifikasi penerapannya pada
kehidupan suami istri.
Seperti buku
tentang manfaat puasa lainnya, buku ini kembali mengingatkan kita pada hakikat
puasa. Menariknya, buku ini mengajarkan kita untuk mencapai kepada puasa level
yang ketiga, puasa hati. Penulis mengutip pendapat Ibnu Qudamah tentang level
puasa. Pertama, puasa orang umum (shiyamul ‘am) yaitu puasa yang dilakukan
oleh kebanyakan orang. Puasa yang hanya meninggalkan makan, minum, dan hubungan
seksual di siang hari. Inilah batas wajib bagi muslim yang baligh. Kedua, puasa orang yang khusus (shiyamul khash) yaitu puasa yang tidak
hanya menahan diri dari makan, minum, serta hubungan seksual di siang hari
tetapi mempuasakan seluruh inderawi; mata, telinga, dan lidah dari segala
perbuatan merusak nilai puasa. Ketiga,
puasa orang yang istimewa (khawahul
khawash) yaitu puasa yang tidak hanya perut, mulut, kemaluan, serta seluruh
inderawinya, tetapi juga mempuasakan hati dan pikirannya. Pada level ketiga
inilah terletak tujuan akhir puasa, yaitu taqwa. Ketika puasa telah sampai pada
level ketiga maka pelakunya sampai pada esensi puasa yaitu menahan diri atau
mengendalikan diri.
Di mata Allah
swt, puasa memiliki kedudukan khusus sebagaimana Bukhari dan Muslim yang
meriwayatkan sabda Rasulullah, Setiap
amal anak Adam satu kebaikan darinya dilipatgandakan sepuluh kali sampai tujuh
ratus kali. Allah berfirman: “Kecuali puasa, ia adalah milikKu dan Aku yang
akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwat dan makannya karena Aku.” Seperti
yang dapat kita ketahui bersama, syahwat dan hawa nafsu adalah biang kerusakan
manusia di ruang kehidupan yang manapun. Dalam rumah tangga, syahwat dan hawa
nafsu tak terkendali dalam berbagai macam variannya, juga menjadi sumber
konflik dan masalah. Jika suami maupun isteri adalah orang yang ahli puasa maka
keduanya menjadi pribadi yang mampu meredam biang masalah sehingga rumah tangga
akan menemukan kedamaian.
Ya Allah, betapa
manisnya buah dari berpuasa. Seseorang akan taqwa dimanapun ia berada dan
kapanpun meskipun tak seorang pun melihatnya. Semangat dan hikmah dari berpuasa
inilah yang penulis rincikan dalam mengendalikan diri di biduk rumah tangga.
Rumah tangga dengan segala tantangan yang bisa menjadi pemicu konflik dapat
dijalani dengan manis jika suami isteri mampu mengendalikan diri. Misalnya
saja, menjaga pandangan dari yang haram sehingga suami/isteri tidak timbul rasa
membanding-bandingkan pasangan dengan orang lain. Melalui pandangan yang liar
ini, bisa membuat seseorang tidak mensyukuri pasangan yang telah dianugerahkan
Allah dengan pas. Contoh lain ialah isteri menjaga telinga dari gossip dan
menahan diri untuk tidak mengeluh sehingga suami dapat terhindar dari fitnah
ingin korupsi.
Penulis juga
menggambarkan manisnya sahur bersama keluarga, sholat malam berjamaah dengan
isteri, menyiapkan buka puasa bersama, menyimak bacaan dan hafalan qur’an
bersama, I’tikaf bersama. Ah, pokoknya yang indah-indah deh dituliskannya dan
membuat pembaca mengharapkan hal yang sama dapat terjadi pada dirinya. Saya
jadi ingat bahwa setiap yang dilakukan muslim adalah ibadah selama diniatkan
untuk Allah. Sungguh manis jika kita telah mampu mencapai derajat taqwa yah.
Saya jadi ingin bersyair nih;
Saat telah taqwa, badai konflik sebesar apapun akan mereda
Saat telah taqwa, riak air tak akan menjadi pusara gelombang
Saat telah taqwa, hujan rintik akan menjadi pelepas dahaga
Saat telah taqwa, cinta seluas langit tak akan sempat berkurang
Kebahagiaan suami
isteri yang taqwa melalui tempaan ibadah puasa akan menjadikan kebahagiaan
dunia tidak ada apa-apanya. Sebaliknya, mereka menikmati
kebahagiaan-kebahagiaan akhirat. Mereka satu sama lain mendukung untuk
membaguskan diri di hadapan Allah. Mereka berjuang dengan karakter kelakian dan
kewanitaan yang berbeda demi cinta Allah di atas cinta mereka. Berharap menjadi
salah satu dari pasangan-pasangan surgawi. Mereka senantiasa melantunkan do’a; Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturuan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Furqan: 74).
Komentar
Posting Komentar