Butong Rono
Aku mencoba
untuk mundur ke tahun 2012, di saat aku pertama kali bertemu dengan wanita asal
Kudus bernama Roi. Aku tidak memiliki prediksi jika akan satu jurusan, kosan,
maupun organisasi. Takdir Allah yang mendekatkan kami. Begitu cepat bagi kami
untuk saling cocok. Salah satu garis kehidupan yang kami jalani adalah kami
berupaya membuka usaha bersama. Usaha yang diharapkan dapat mengasah kepiawaian
berdagang. Satu hal ini, aku banyak belajar dari Roi, seorang anak peternak
ayam dan telur. Yah, kali ini tentang Roi dan usaha kami.
Roi adalah
wanita yang ulet dan menghargai hubungan sosial antar sesama. Ia sangat senang
jika melakukan hal-hal bersama teman. Ia begitu semangat jika bekerja sama
tetapi ia cepat putus asa jika bekerja sendiri. Yah, ia yang menghargai
pertemanan. Maka ketika kami telah sepakat akan berdagang buah potong, ia
sangat bersahabat menjalaninya.
Jualan buah
potong baru sekali dalam hidupku. Biasanya, aku hanya sebagai distributor
barang-barang yang tahan lama. Aku paling suka jualan yang tidak menggunakan
upaya produksi yang melelahkan. Pada kenyataannya, menjadi produsen tentu
menjadi tantangan kala itu. Masih lekat dalam ingatan, kami harus bangun
pagi-pagi untuk menyiapkan semuanya karena kami akan berjualan di Sunday morning UGM (Sunmor). Kami
mengupas dan mencuci buah yang telah dibeli kemarin sore di Pasar Giwangan.
Lalu, kami memotong berbagai buah dengan pisau bergerigi agar tampil cantik.
Kami masukkan semangka, melon, strawberry, sawo, kedondong, bengkoang, dan kiwi
di dalam kotak plastic mika ukuran sedang. Tak lupa diselipkan tusuk gigi dan
plastik berisi saus. Saus yang kami sediakan ada dua, saus madu dan bumbu
lutis. Jadilah sekitar 60 porsi. Kami jual dengan harga Rp 2500/porsi.
Meskipun
kami sedikit kesiangan sampai di Sunmor, dagangan kami laku. Hanya menyisakan sekitar
10 porsi. Sisanya kami bagikan saja ke anak-anak kos. Waah senangnya kami kala
itu. Kami dapat untung dan bisa menyenangkan teman kos. Kami bertekad untuk
konsisten menjual buah meskipun tidak setiap hari. Oh iya, kami namai jualan
kami dengan sebutan Butong Rono. Panjangnya adalah Buah potong Roi dan Novi.
Misi jualan
selanjutnya adalah kampus. Kami menyiapkan porsi lebih sedikit daripada yang di
Sunmor. Sebelumnya, kami menginfokan lewat SMS kepada teman-teman bahwa kami
akan jualan sambil jalan di area kampus. Beberapa teman sudah memesan lebih
dulu. Sayangnya, Butong Rono tidak cepat habis seperti yang di Sunmor. Apalagi
kami tidak menggunakan kotak termos es. Ah, buahnya menjadi kurang segar
seiring matahari yang terus meninggi. Akhirnya kami makan sendiri saja dan
menawarkan pada teman yang sedang duduk-duduk di gazebo kampus. Meskipun kami
tetap mendapatkan laba, kami harus mengatur strategi penjualan lagi.
Butong Rono merambahi kantor jurusan kami
Anak-anak penelitan fakultas pun turut membeli ^^
Ah…aku jadi
banyak belajar dari aktivitas berdagang. Ya Allah, terima kasih yah sudah
banyak memberikan aku pelajaran.
Kami terus
berjualan saat kami senggang. Bahkan kami niatkan untuk membuka usaha lain yang
lebih besar. Aku menikmati masa-masa itu. Aku bersyukur sekali bisa mengenal
Roi yang semangat. Kami pun jadi semakin dekat. Ada masa yang sangat aku
rindukan sampai saat ini dimana kami setiap sore hari mengikuti kajian, buka
bersama, dan tarawih di masjid-masjid yang berbeda. Kami namai kegiatan kami
itu dengan wisata masjid di bulan Ramadhan. Itu tahun 1433 H, saat aku masih
melaksanakan KKN-PPL di P4TK Matematika Yogya. Padatnya kegiatanku tidak
membuat kami lelah bermotor bersama untuk menikmati Ramadhan.
Sekarang, kami
tidak lagi berjulan Butong Rono pun dengan usaha Laundry yang telah
direncanakan. Sekarang, aku merasa kehilangan sosok Roi yang dulu. Setiap
perjumpaan pasti ada perpisahan. Setiap kita pasti punya rencana hidupnya
masing-masing. Masing-masing kami berjuang demi wujudkan mimpi. Aku dengan
ritme hidup yang fokus pada studi di kampus sedangkan ia fokus dengan
organisasi dan pengabdian masyarakat. Daya tahan belajar maupun keinginan kami
memang berbeda tetapi itulah yang membuat masing-masing jadi lebih berharga.
Kini, kami tak lagi satu atap sebulan terakhir. Ia dengan kesibukannya sendiri.
Demikian juga aku.
Terima kasih
Roi. Aku banyak belajar kehidupan darimu. Teruslah berjuang mewujudkan mimpi.
Kudoakan agar bisa segera menyandang gelar sarjana pendidikan sebelum waktumu
habis. Semoga Roi bisa bahagia dimanapun berada.
Komentar
Posting Komentar