English: Sebuah Novel Berlatar Cina Bagian Barat
Sebagaimana tokoh utama cerita tertarik
pada pelajaran bahasa Inggris, novel berjudul English ini membuat saya
terpanggil untuk membacanya. Sama-sama orang Asia yang ingin sekali mahir
berbahasa Inggris dan saya menjadi antusias. Apalagi setting novel ini di
Xinjiang, wilayah terpencil di barat laut Cina yang pada masa itu sedang
terjadinya Revolusi Budaya. Revolusi yang tidak boleh ada perbedaan sama
sekali, baik pendapat, status, maupun gaya hidup dan harus mendukung pemerintahan
komunis tanpa terkecuali.
Dikisahkan bahwa Love Liu,
seorang anak laki-laki usia SMP yang amat tergila-gila pada kecantikan guru
bahasa Uyghur di sekolahnya, Ahjitai. Ia dan kawan-kawannya sebenarnya tidak
tertarik untuk belajar bahasa Cina, apalagi Uyghur tetapi Ahjitai adalah
satu-satunya tujuan mereka sekaligus bahan imajinasi nakal masa pubertas. Berbeda
dengan rombongan Love Liu, anak-anak perempuan ingin sekali Ahjitai segera
pergi sehingga pelajaran baru (bahasa Inggris) segera menggantikan bahasa Uyghur.
Sebenarnya, belajar bahasa Inggris pada masa itu adalah tabu dan harus
dilakukan sembunyi-sembunyi.
Lantas, Ahjitai pun keluar
sebagai dampak dari kebijakan baru sekolah. Kemudian datanglah Second Prize
Wang, pemuda dari Shanghai-jangkung, elegan, mengepit kamus bagasa Inggris,
yang kemudian menyukai Ahjitai. Semua anak perempuan berebutan ingin jadi
perwakilan kelas yang setia mengambil dan mengantarkan gramofon saat pelajaran listening. Sunrise Huang yang cantik dan
berbakat lah yang beruntung. Jadi, kepergian Ahjitai ditangisi anak laki-laki
sedangkan kedatangan Second Prize Wang disambut gembira oleh anak perempuan.
Oke, ini memang natural sih.
Love Liu sangat penasaran pada
kamus yang dibawa Wang karena ia tahu buku itu hanya satu-satunya di Urumchi.
Sayangnya, Wang tidak dengan mudah meminjamkannya kepada Liu. Dengan berbagai
siasat, Liu berusaha merebut perhatian Wang yang semula tercurahkan pada
Sunrise Huang dan anak perempuan lainnya. Liu berhasil merebut posisi
perwakilan kelas sehingga bisa leluasa main ke kamar Wang di kompleks sekolah.
Semakin dekat Liu pada Wang, tidak hanya membuatnya mudah membaca kamus tetapi
juga belajar bagaimana menjadi pria terhormat ala guru Wang.
Tantangan kehidupan bagi
anak-anak di dalam novel ini sangat berat. Meraka belajar sembari dicurigai
anti revolusi apabila ada indikasi perbedaan pendapat. Sunrise Huang sekadar
menuliskan kata-kata iseng di pintu kamar mandi yang menyindir penguasa
tertinggi Cina, pemimpin Mao, bisa mendapatkan ancaman hukuman penjara
sekaligus kerja paksa. Untungnya, kepala sekolah yang sebenarnya sudah muak
dengan pemerintahnya sendiri, bisa menyelamatkan Sunrise Huang. Remaja
perempuan yang baru saja kehilangan ayahnya akibat bunuh diri itu, menuliskan
berulang kali sebagai tanda penyesalan: “kita anak-anak baik tumbuh di bawah
bendera merah komunisme dan tidak seharusnya berpikir tentang hal semacam itu
di usia yang begitu muda.”
Kisah lainnya dalam novel ini
mengenai intrik politik di kalangan orang dewasa. Akademisi berbakat harus
tunduk pada kemauan pemimpin Mao dan Tentara Merah meskipun apa yang mereka
lakukan menyalahi nilai kemanusiaan. Bagi yang tahan, nilai kemanusiaan mereka
akan hilang. Namun, lebih banyak yang tidak tahan sehingga dibunuhi oleh
Tentara Merah ataupun memilih bunuh diri. Di masa itu, bentuk-bentuk
penghabisan nyawa seseorang sangat luar biasa kejamnya karena didahului dengan
penyiksaan.
Bagaimanapun kelamnya zaman itu,
novel yang hak ciptanya telah terjual di seluruh dunia ini mengisahkan kisah
menjadi dewasa. Love Liu dan remaja lainnya menempuh cara-cara yang terkadang
membuat saya terharu maupun bergidik ketika membacanya. Mau tahu apa saja yang
mereka alami? Apakah cinta Second Prize Wang dibalas Ahjitai? Lantas bagaimana nasib
Second Prize Wang dan Sunrise Huang yang kabarnya anti revolusi? Silakan baca
sendiri novel yang cukup lawas ini. Setidaknya, dari novel ini saya menjadi
bisa lebih menghargai nilai-nilai ketuhanan karena kisah kehidupan dalam novel
ini salah satu contoh antitesis keagamaan. Tanpa agama, manusia akan hidup semaunya
dan menimbulkan penderitaan lahir dan batin. [NT]
Judul Buku : English
Penulis : Wang Gang
Penerbit : Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Tahun Terbit : 2013
Jumlah Halaman : 426
Peresume : Novi Trilisiana
Komentar
Posting Komentar