Antara Tampil Hebat dan Bonus Juara
Setidaknya tampil hebat belum tentu menjadi juara, begitu juga sebaliknya. Kalimat tersebut keluar dari Puji, teman UGM yang bareng bersama kami pulang ke Jogja usai berlomba di Surabaya. Ia menceritakan dengan penuh makna kepada sahabatku, Fatma. Aku yang duduk di belakang mereka mendengarkan diam-diam dengan sisa-sisa tenaga. Puji melanjutkan ceritanya bahwa ketika hendak presentasi lomba paper atau karya tulis ilmiah seseorang itu harus menyajikan penampilan yang hebat. Dengan kata lain, presentasi harus menarik, ide yang dibawa harus unik dan ilmiah, serta totalitas. Hingga para penonton mengakui bahwa presentasi seseorang tersebut amat bagus dan hebat. Masalah juara atau tidaknya hanyalah bonus semata, lanjutnya kepada Fatma. Sebab, tampil hebat lebih utama ketimbang tampil biasa-biasa saja kemudian mendapat juara.
Sesuatu yang barusan kudengar cukup membesarkan hatiku. Mungkin juga hati Fatma, sahabatku. Aku sebelumnya menangkap gurat kekecewaan usai pengumuman lomba pada wajahnya. Kami harus puas pada peringkat 7. Sebelumnya kami bahkan optimis meraih posisi 3 besar. Bahkan, aku terus meyakinkan teman se-timku pada kenyataan itu. Meskipun aku tahu aku pun masih terbengong pada hasil penjurian. Terlepas dari faktor-faktor yang kami anggap sesuatu yang tidak adil dan tidak transparan, kami mengamini perkataan Puji di atas. Bukan bermaksud secara subjektif kami mengklaim penampilan kami hebat. Namun, kategori penampilan hebat yang dipaparkan di atas telah selaras dengan apa yang kami tampilkan. Begitulah para penonton berpendapat. Oleh karena itu, orientasi tampil hebat lebih utama daripada tampil juara. Atau kalau bisa memilih, setiap orang_termasuk aku_akan memilih tampil hebat sekaligus mendapat bonus juara.
Sang juara pun tidak melulu menyajikan tampilan yang hebat. Justru kekuatannya bukan pada tampilan yang hebat tetapi kesederhanaan dan faktor penilaian lainnya. Aku tidak akan menyudutkan para peraih juara. Sebab, aku hendak mengambil pelajaran dan terus berbaik sangka pada keputusan Allah. Bisa jadi penampilan yang sederhana atau biasa saja lebih memudahkan juri mengerti ide yang disampaikan. Atau gagasannya memiliki nilai jual tinggi ketimbang ide presenter yang hebat. Penilaian naskah paper dan administrasi pun tidak luput sebagai poin penilaian dari banyaknya poin yang digelontorkan. Segala penilaian karya tulis begitu kompleks dan memerlukan ketelitian dan kehati-hatian.
Kami akan sangat menerima dengan mudah hasil penilaian, kalau saja beberapa faktor pengganggu atau bias penilaian diminimalisir. Pertama, jumlah dan siapa dewan juri itu konsisten pada semua peserta lomba. Juri adalah manusia yang memiliki perbedaan sudut pandang, background, selera, serta subjektivitas lainnya. Maka, juri yang berubah-ubah pada setiap penilaian akan merugikan peserta. Kedua, adanya aturan yang jelas atau indikator pada penilaian lomba dan harus diterangkan secara jelas kepada peserta lomba sedetail-detailnya. Sebab, akan memberikan konsekuensi bagi masing-masing peserta jika melanggar indikator. Ketiga, hendaknya nilai penjurian diumumkan secara mentahnya agar peserta mengetahui berapa nilainya. Hal ini termasuk suatu tindakan transparan sebagai hasil yang ditentukan sesuai indikator yang dipatok. Selain itu, peserta pun akan belajar dari kekurangan atau kesalahan mereka.
Mungkin, alibi para panitia akan mengimbangi kritik kami. Bisa jadi, atas nama efisiensi dan efetivitas, mereka akan membenarkan yang telah terjadi. Mana mungkin sekitar 30 tim peserta akan dinilai full paper dan presentasinya hanya dalam 1 hari oleh juri yang sama?
Jika hendak mengundang 30 tim untuk presentasi, maka maksimalkanlah 2 hari untuk melakukannya. Sebab, seharian sampai malam pun untuk melakukan penilaian dan presentasi tentu tidak memanusiakan juri dan peserta, bukan? Akan timbul yang namanya bias waktu dan konsentrasi. Itulah yang dinamakan juri tenang (dalam menilai) kami sebagai peserta pun turut senang.
Yah, tulisan ini merupakan bentuk katarsisku terhadap salah satu acara yang diadakan instansi PT yang ada di Surabaya di bulan ini. Semoga baik kami sebagai peserta mampu berkaca dan belajar dari para juara dan teman-teman lainnya dengan lapang dada. Panitia pun hendaklah berbenah diri untuk perbaikan-perbaikan acara selanjutnya.
Efek dari pengalaman kemarin, memicuku untuk terus berkarya lewat tulisan dan melakukan kegiatan yang lebih nyata dan tidak sekadar tulisan di atas kertas. Sebab, dampaknya akan terasa nyata dan hatipun akan merasa tanpa pamrih dari manusia manapun. Allah tentu akan memberikan penilaian bagi makhluknya yang bekerja keras untuk perbaikan tanpa diketahui banyak orang apalagi berharap dipuji bahkan diurutkan pada peringkat-peringkat penilaian manusia.
Jangan sampai terjebak pada fitrahnya manusia yang tergolong nafsu hendak dinilai dan dianggap sempurna oleh orang lain. *Aku belajar dari Puji, teman kos, para juara, dan timku...
@Perpus FIP
Sesuatu yang barusan kudengar cukup membesarkan hatiku. Mungkin juga hati Fatma, sahabatku. Aku sebelumnya menangkap gurat kekecewaan usai pengumuman lomba pada wajahnya. Kami harus puas pada peringkat 7. Sebelumnya kami bahkan optimis meraih posisi 3 besar. Bahkan, aku terus meyakinkan teman se-timku pada kenyataan itu. Meskipun aku tahu aku pun masih terbengong pada hasil penjurian. Terlepas dari faktor-faktor yang kami anggap sesuatu yang tidak adil dan tidak transparan, kami mengamini perkataan Puji di atas. Bukan bermaksud secara subjektif kami mengklaim penampilan kami hebat. Namun, kategori penampilan hebat yang dipaparkan di atas telah selaras dengan apa yang kami tampilkan. Begitulah para penonton berpendapat. Oleh karena itu, orientasi tampil hebat lebih utama daripada tampil juara. Atau kalau bisa memilih, setiap orang_termasuk aku_akan memilih tampil hebat sekaligus mendapat bonus juara.
Sang juara pun tidak melulu menyajikan tampilan yang hebat. Justru kekuatannya bukan pada tampilan yang hebat tetapi kesederhanaan dan faktor penilaian lainnya. Aku tidak akan menyudutkan para peraih juara. Sebab, aku hendak mengambil pelajaran dan terus berbaik sangka pada keputusan Allah. Bisa jadi penampilan yang sederhana atau biasa saja lebih memudahkan juri mengerti ide yang disampaikan. Atau gagasannya memiliki nilai jual tinggi ketimbang ide presenter yang hebat. Penilaian naskah paper dan administrasi pun tidak luput sebagai poin penilaian dari banyaknya poin yang digelontorkan. Segala penilaian karya tulis begitu kompleks dan memerlukan ketelitian dan kehati-hatian.
Kami akan sangat menerima dengan mudah hasil penilaian, kalau saja beberapa faktor pengganggu atau bias penilaian diminimalisir. Pertama, jumlah dan siapa dewan juri itu konsisten pada semua peserta lomba. Juri adalah manusia yang memiliki perbedaan sudut pandang, background, selera, serta subjektivitas lainnya. Maka, juri yang berubah-ubah pada setiap penilaian akan merugikan peserta. Kedua, adanya aturan yang jelas atau indikator pada penilaian lomba dan harus diterangkan secara jelas kepada peserta lomba sedetail-detailnya. Sebab, akan memberikan konsekuensi bagi masing-masing peserta jika melanggar indikator. Ketiga, hendaknya nilai penjurian diumumkan secara mentahnya agar peserta mengetahui berapa nilainya. Hal ini termasuk suatu tindakan transparan sebagai hasil yang ditentukan sesuai indikator yang dipatok. Selain itu, peserta pun akan belajar dari kekurangan atau kesalahan mereka.
Mungkin, alibi para panitia akan mengimbangi kritik kami. Bisa jadi, atas nama efisiensi dan efetivitas, mereka akan membenarkan yang telah terjadi. Mana mungkin sekitar 30 tim peserta akan dinilai full paper dan presentasinya hanya dalam 1 hari oleh juri yang sama?
Jika hendak mengundang 30 tim untuk presentasi, maka maksimalkanlah 2 hari untuk melakukannya. Sebab, seharian sampai malam pun untuk melakukan penilaian dan presentasi tentu tidak memanusiakan juri dan peserta, bukan? Akan timbul yang namanya bias waktu dan konsentrasi. Itulah yang dinamakan juri tenang (dalam menilai) kami sebagai peserta pun turut senang.
Yah, tulisan ini merupakan bentuk katarsisku terhadap salah satu acara yang diadakan instansi PT yang ada di Surabaya di bulan ini. Semoga baik kami sebagai peserta mampu berkaca dan belajar dari para juara dan teman-teman lainnya dengan lapang dada. Panitia pun hendaklah berbenah diri untuk perbaikan-perbaikan acara selanjutnya.
Efek dari pengalaman kemarin, memicuku untuk terus berkarya lewat tulisan dan melakukan kegiatan yang lebih nyata dan tidak sekadar tulisan di atas kertas. Sebab, dampaknya akan terasa nyata dan hatipun akan merasa tanpa pamrih dari manusia manapun. Allah tentu akan memberikan penilaian bagi makhluknya yang bekerja keras untuk perbaikan tanpa diketahui banyak orang apalagi berharap dipuji bahkan diurutkan pada peringkat-peringkat penilaian manusia.
Jangan sampai terjebak pada fitrahnya manusia yang tergolong nafsu hendak dinilai dan dianggap sempurna oleh orang lain. *Aku belajar dari Puji, teman kos, para juara, dan timku...
@Perpus FIP
Komentar
Posting Komentar