Bahasa Inggris, Primadonakah?
Beberapa waktu lalu, seorang dosen mengajak mahasiswanya untuk membaca buku referensi kuliah berbahasa Inggris. Dosen tersebut menjelaskan juga betapa pentingnya membaca buku berbahasa Inggris. Ajakan dosen bukan tiada maksud, melainkan demi kebaikan mahasiswa. Diantara kebaikan itu ialah mahasiswa dapat melatih kemampuan berbahasa Inggrisnya, serta untuk bekal menghadapi globalisasi.
Di balik kebaikan, tentu terdapat kekurangan. Kekurangan belajar menggunakan buku berbahasa asing terletak pada ke-tidak efektif dan efisien-nya dalam proses pembelajaran.
Idealnya mahasiswa faham benar akan substansi bidang perkuliahannya serta mampu berbahasa dengan baik, yakni bahasa Indonesia dan bahasa asing. Urutan bahasa asing menjadi nomor selanjutnya, setelah faham terhadap substansi bidang kuliahnya.
Pada kenyataannya banyak mahasiswa yang tidak menyukai tugas membuat makalah dengan referensi wajib dan utama dari buku berbahasa Inggris. Hal ini dapat diketahui ketika mewawancarai mereka saat proses pembuatan makalah berlangsung. Jawabannya beragam: menghabiskan waktu yang lama, bingung menerjemahkan referensi, bingung substansi materinya karena salah penerjemahan, dan sebagainya.
Mahasiswa yang rata-rata kemampuan bahasa Inggrisnya lemah, harus bekerja ekstra. Langkah pertama yang akan mahasiswa lakukakan ialah terlebih dahulu merumuskan masalah apa yang akan dibahas dalam makalah, selanjutnya mencari kajian teori dari sumber referensi. Ketika dihadapkan dengan referensi berbahasa Inggris_mau tidak mau_ mahasiswa harus menerjemahkannya terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia agar paham apa yang dimaksud. Cara menerjemahkan pun beragam: meminta bantuan jasa penerjemah, bersusah payah membuka kamus dan menerjemahkan sendiri, hingga memanfaatkan mesin penerjemah di internet. Kemudian melakukan penyuntingan naskah terjemahan agar sesuai tata bahasa yang baik. Barulah jadi bahan referensi dengan bahasa Indonesia yang selanjutnya harus dipilah kajian teori mana yang sesuai dengan masalah yang diangkat.
Untuk mengkaji bidang ilmunya saja, mahasiswa memerlukan waktu yang relatif lama menggunakan referensi bahasa asing dari pada referensi berbahasa Indonesia. Hal ini sungguh tidak efisien! Selanjutnya, efetivitas tersampaikannya substansi materi belum pula dinyatakan efektif. Penyebabnya ialah ketidakpahaman mahasiswa terhadap apa yang mereka terjemahkan. Bisa saja hasil terjemahan berbeda maksud dengan buku asli yang berbahasa Inggris.
Tujuan membaca buku berbahasa asing memang baik. Namun, paham substansi bidang keilmuan dahulu akan lebih baik. Alangkah berjasanya para penerjemah buku berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia karena memudahkan anak bangsa mengkaji ilmu.
Kalau pun memang mahasiswa harus membaca referensi berbahasa Inggris, maka benahi dahulu pembelajaran bahasa Inggris mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Melihat fenomena ganjil bahwa pendidikan bahasa Inggris yang ditempuh siswa negara kita selama kurang lebih 9 tahun, belum membuat pintar siswa. Buktinya ialah amati siswa-siswa dalam satu kelas! Maka peresentase siswa yang fasih berbahasa Inggris jauh lebih sedikit dari pada siswa yang tidak fasih. Biasanya yang fasih berbahasa Inggris ialah mereka yang mengikuti kursus di luar sekolah formal.
Hendaknya kita mencontoh bangsa Jepang yang sangat membanggakan bahasanya sendiri. Di Jepang referensi-referensi berbahasa asing akan segera diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Selanjutnya, referensi terjemahan disebar-luaskan kepada bangsanya. Setidaknya mereka memahami pembelajaran atau pendidikan bukanlah suatu hal yang harus dipersulit. Dengan bahasa bangsa sendiri, tentulah memberikan kemudahan dan kecepatan pemahaman pengetahuan dalam bidang ilmu tertentu. Bukankah di Indonesia banyak penerjemah handal? Referensi berbahasa Inggris mungkin tidak lebih baik dari yang berbahasa Indonesia.
Novi Trilisiana, gelisah aku. Sungguh!
Di balik kebaikan, tentu terdapat kekurangan. Kekurangan belajar menggunakan buku berbahasa asing terletak pada ke-tidak efektif dan efisien-nya dalam proses pembelajaran.
Idealnya mahasiswa faham benar akan substansi bidang perkuliahannya serta mampu berbahasa dengan baik, yakni bahasa Indonesia dan bahasa asing. Urutan bahasa asing menjadi nomor selanjutnya, setelah faham terhadap substansi bidang kuliahnya.
Pada kenyataannya banyak mahasiswa yang tidak menyukai tugas membuat makalah dengan referensi wajib dan utama dari buku berbahasa Inggris. Hal ini dapat diketahui ketika mewawancarai mereka saat proses pembuatan makalah berlangsung. Jawabannya beragam: menghabiskan waktu yang lama, bingung menerjemahkan referensi, bingung substansi materinya karena salah penerjemahan, dan sebagainya.
Mahasiswa yang rata-rata kemampuan bahasa Inggrisnya lemah, harus bekerja ekstra. Langkah pertama yang akan mahasiswa lakukakan ialah terlebih dahulu merumuskan masalah apa yang akan dibahas dalam makalah, selanjutnya mencari kajian teori dari sumber referensi. Ketika dihadapkan dengan referensi berbahasa Inggris_mau tidak mau_ mahasiswa harus menerjemahkannya terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia agar paham apa yang dimaksud. Cara menerjemahkan pun beragam: meminta bantuan jasa penerjemah, bersusah payah membuka kamus dan menerjemahkan sendiri, hingga memanfaatkan mesin penerjemah di internet. Kemudian melakukan penyuntingan naskah terjemahan agar sesuai tata bahasa yang baik. Barulah jadi bahan referensi dengan bahasa Indonesia yang selanjutnya harus dipilah kajian teori mana yang sesuai dengan masalah yang diangkat.
Untuk mengkaji bidang ilmunya saja, mahasiswa memerlukan waktu yang relatif lama menggunakan referensi bahasa asing dari pada referensi berbahasa Indonesia. Hal ini sungguh tidak efisien! Selanjutnya, efetivitas tersampaikannya substansi materi belum pula dinyatakan efektif. Penyebabnya ialah ketidakpahaman mahasiswa terhadap apa yang mereka terjemahkan. Bisa saja hasil terjemahan berbeda maksud dengan buku asli yang berbahasa Inggris.
Tujuan membaca buku berbahasa asing memang baik. Namun, paham substansi bidang keilmuan dahulu akan lebih baik. Alangkah berjasanya para penerjemah buku berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia karena memudahkan anak bangsa mengkaji ilmu.
Kalau pun memang mahasiswa harus membaca referensi berbahasa Inggris, maka benahi dahulu pembelajaran bahasa Inggris mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Melihat fenomena ganjil bahwa pendidikan bahasa Inggris yang ditempuh siswa negara kita selama kurang lebih 9 tahun, belum membuat pintar siswa. Buktinya ialah amati siswa-siswa dalam satu kelas! Maka peresentase siswa yang fasih berbahasa Inggris jauh lebih sedikit dari pada siswa yang tidak fasih. Biasanya yang fasih berbahasa Inggris ialah mereka yang mengikuti kursus di luar sekolah formal.
Hendaknya kita mencontoh bangsa Jepang yang sangat membanggakan bahasanya sendiri. Di Jepang referensi-referensi berbahasa asing akan segera diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Selanjutnya, referensi terjemahan disebar-luaskan kepada bangsanya. Setidaknya mereka memahami pembelajaran atau pendidikan bukanlah suatu hal yang harus dipersulit. Dengan bahasa bangsa sendiri, tentulah memberikan kemudahan dan kecepatan pemahaman pengetahuan dalam bidang ilmu tertentu. Bukankah di Indonesia banyak penerjemah handal? Referensi berbahasa Inggris mungkin tidak lebih baik dari yang berbahasa Indonesia.
Novi Trilisiana, gelisah aku. Sungguh!
Komentar
Posting Komentar